Masakan ibuku sangat disukai oleh keluarga besar kami. Mereka sangat terkesan dengan rasa dan cekatannya ibuku memasak. Terilhami dengan ini maka bisnis resto mulai kulirik. Disamping itu aku mempunyai saudara yang masih "terkapar" akibat imbas krismon 1998.
Rencana sudah disusun. Jadilah bisnis resto model foodcourt di sebuah mall. Manager dari resto adalah saudara sendiri. Chef juga masih saudara sendiri, dan penasehat chef, ibuku sendiri. Eng...ing...eng...jadilah resto. (catatan: inilah resto pertama)
Hmmm...sepanjang perjalanan bisnis ini penuh dengan jalan terjal.
Kendala yang paling besar kuhadapi adalah menghadapi saudara sendiri, termasuk ibuku.
Susah untuk me-manage mereka karena setiap mereka mempunyai kebijakan masing-masing. Aturan yang kubikin selalu dihempang atau dijegal di tengah jalan dengan berbagai alasan.
Maklumlah semua yang kusebut saudara ini usianya jauh lebih tua dariku. Sementara bagi mereka aku hanyalah "adik kecil". Bayangan mereka mungkin aku masih jalan tertatih-tatih, dengan mengenakan pampers (udah ada belum yak waktu aku balita??? belum ada dehhh), ingus hijau keluar masuk dari hidungku. Hehehe...begitulah kurasa.
Beberapa bulan berjalan aku bisa prediksi bahwa bisnis ini bakalan tumpur. Setahun berjalan aku masih bertahan hanya dengan logika bahwa bisnis ini untuk membantu keluarga sendiri.
Lama-lama aku berpikir. Sampai berapa lama bisnis ini kutopang terus dengan merugi? Bisnis ini memeloroti celanaku semakin kebawah. Semakin turun dan turun. Kalau kubiarkan maka akhirnya pasti terlihatlah kelaminku, bukan?
Resto ini akhirnya kututup sebelum menyeretku terlalu dalam begitu mulai memasuki tahun ketiga. Ketegasanku akhirnya kuperlihatkan dengan segala resiko. Aku tetap mencintai saudara-saudaraku, aku akan membantu saudara yang sedang kesusahan, tapi tidak dengan menjalin bisnis.
Tidak lagi.
Tapi ada hal lain dibalik itu, kegagalan resto keluarga ini membuatku semakin pintar dalam usaha resto...sedikit saja lah....
No comments:
Post a Comment