Sunday, February 8, 2009

Cara Mendidik Anak

Aku baru pulang dari rumah orangtua. Sudah lama tidak berkunjung.
Sesampai disana, tidak lama kemudian sudah berdebat. Yah biasalah, debat-debat kusir. Bukan berantem, tapi sekedar tukar pikiran. Serunya jadi orang Batak ya begini ini. Saban ketemu ya rame.

Debatnya tentang apa ya..hmmm..banyak sih. Tapi yang paling menarik adalah bagaimana cara mendidik anak. Mana yang lebih baik, cara mendidik anak yang keras atau dengan cara lembut. Menggunakan istilah bapakku pendidikan "edukasi usia dini".

Mereka masing-masing flashback.

Ibuku bercerita masih dia kecil.
Orangtuanya (kakek-nenekku) mendidik dia dan saudara-saudaranya dengan didikan keras. Maksudku disini keras, yakni terkadang menggunakan tindakan fisik. Yang sering menggunakan "tangan" dalam mendidik adalah nenekku. Pengawasan sangat melekat. Begitu pulang sekolah dan tiba dirumah, tidak ada alasan apapun untuk pergi keluar rumah lagi.
Sebaliknya kakekku tidak pernah memukul. Tapi seluruh bahasa tubuh dapat digunakan sebagai sinyal yang harus ditangkap anak-anaknya sebagai tanda marah atau sekedar larangan. Dan jaman dulu ini sangat ampuh bin mujarab. Walaupun kereng, namun ibu dan saudara-saudaranya ternyata lebih dekat kepada kakekku. Kakek yang selalu mengontrol rambut, telinga dan kuku masing-masing mereka. Dan kakek tidak segan-segan untuk membersihkan, menggunting dan memotong sendiri manakala didapat bagian tubuh tadi tidak sesuai dengan standarnya.
Yang membuatku tergelak adalah, ternyata ibuku sewaktu SMP (menjelang SMA) pernah dijambak-jambak sama nenek. Kejadian ini lucu karena tidak terbayang olehku, ibuku dijambak rambutnya oleh seorang nenek yang kukenal sangat lemah lembut dan baik hati.
Waktu itu, ibuku cerita, dia membolos sekolah untuk belajar berenang di sebuah sungai dekat rumah teman baiknya. Di sekolah, dikabarkan bahwa ia sakit hari itu, sehingga bebaslah dia membolos untuk belajar renang. Apes saat itu, seorang teman satu kelasnya datang kerumah dan menanyakan kondisi "sakit"nya ibuku. Hal ini membuat nenek berang. Dan pada saat ibuku pulang, terjadilah eksekusi penjambakan itu. Hehehe...sadis cing.
Tapi sampai dengan nenekku meninggal, nenekku tidak pernah habis mengerti, kenapa ibuku mempunyai banyak medali ataupun sertifikat penghargaan di bidang olahraga. Kapan bertandingnya? Hmm...pastilah alasan yang sama dengan alasan dibalik peristiwa penjambakan itu. Hanya saja ketika itu tidak ketahuan.
Dan ibuku hanya mesem-mesem saja sambil manggut-manggut. Kalau anak sekarang pasti menjawab pertanyaanku dengan "ya iyalah, masa ya iya dong...

Cerita bapakku lain lagi.
Nenek tidak pernah marah dengan "main fisik" kepada anak-anaknya. Nenek seorang petani dan pedagang yang ulet. Kakekku masih keturunan "ningrat", demikian katanya. Kerjanya kakek hanya melanglang buana dari satu kampung ke kampung lain, hanya untuk bermain catur. Hal ini tidak begitu mengagetkan, karena jaman dulu disana, sudah menjadi kewajaran jika seorang ibulah yang bekerja di ladang. Apalagi kakek seorang ningrat pula.
Catur memang merupakan kegemarannya dan dia sangat ahli dalam permainan ini. Bermain catur tentunya harus ada "isi" nya (taruhan atau berjudi-red). Jika dia menang taruhan, maka selalu ada kiriman sapi, buah-buahan, ikan dan lain sebagainya dari kampung sebelah kerumah mereka.
Sementara kakek sendiri jarang nongol di rumah. Nongol di rumah jika sedang sakit, sekedar istirahat, atau meminta modal untuk dipertaruhkan kembali dalam permainan catur.
Nenek lah yang mengatur dan mengurus bapakku dan saudara-saudaranya. Nenek mengatur dengan sangat baik dengan job desc yang ketat. Bapakku kebagian tugas mengambil air untuk keperluan rumah. (Jangan dibayangkan ngambil air itu dekat ya..ini jauh loh..bisa gempor pulang-pergi). Dan saudara-saudaranya yang lain kebagian tugas rumah tangga yang lain.

Dari cerita mereka, aku menemukan cerita yang lebih berwarna dari kisah bapakku ketimbang ibuku. Mungkin karena gender juga nih (eitss...aku bukan main-main gender kawan...memang nyata seperti ini).
Banyak peristiwa yang tidak masuk akal, apalagi untuk kondisi jaman sekarang. Pernah tidak terbayangkan, bahwa ada seekor sapi yang dipelihara sejak "piyik" oleh bapakku dan sudah sangat mengerti dengan perintah-perintahnya, pas lagi meleng, sudah dijual sama kakekku buat taruhan catur? Hehehehe...
Atau pada saat bapakku dan saudara-saudaranya masih kecil dan bermain di sawah bersama kerbau-kerbau yang lagi bermalas-malasan. Mereka iseng mengikat atau menyimpul buntut dua ekor kerbau tadi. Dan pada saat kerbau-kerbau tadi berdiri dan ingin berjalan, maka simpul ekor tadi semakin menguat, semakin menguat dan akhirnya memutuskan salah satu ekor kerbau yang lebih tua sampai ke pangkal ekornya. Berdarah banyak. Lucunya, pada saat mereka ingin memotong ekor kerbau yang "terbawa" kedalam simpul tadi, eh, salah potong. Yang dipotong ekor dari kerbau yang "menang adu simpul". Hahahaha...jadi dua yang berdarah. Dan beberapa minggu kemudian kerbau yang terangkut pangkal ekornya itu mati. Mereka sempat berpikir, untung bukan kerbau sendiri, tapi kerbau tetangga. Yang mereka tidak tahu, nenek mengganti kerugian dua ekor kerbau. Tumpur....hehehehe.
Ahh..banyak lagi cerita yang "aneh-aneh" saat bapakku kecil. Mungkin bisa jadi sebuah buku setebal 700 hal, kalau kutuliskan satu persatu. Gokil habis!

Ok. Oia, terus debatnya dimana?? Sabar bleh...

Kami berdebat saat membahas kejadian saat kami kecil dulu.
Nah disaat kukecil dulu, pernah ada om-ku tinggal di rumah kami. Waktu itu aku masih sangat kecil. Aku hanya mengingat dari cerita saudara-saudaraku yang lain. Si om ini kukritisi sekarang (yang tentunya adik ibuku dan om tidak ada pada saat kami berdebat). Dulu si om ini juga ikutan mendidik kami dengan "tangan". Ternyata, hal itu memang diperkenankan oleh bapak-ibuku. Aneh kalau untuk jaman sekarang.

Setelah kukritisi, tibalah pertanyaan, "Lebih baik seperti apa mendidik anak, dengan cara keras atau lembut?"

Bapakku dengan nada mengejek, dia bilang, "Apa istilah orang-orang tua yang sok pintar jaman sekarang, "edukasi usia dini"??? Emangnya kami orang-orang tua jaman dulu tidak mengedukasi kalian sejak dini?? Sok aja kalian semua...".

Aku jawab, "Ya..jaman berubah. Sekarang pendekatan ke anak-anak harus lebih mempunyai edukasi yang tinggi, tidak main embat aja.."

Diejek lagi lagi olehnya, "Kau katanya sekolah tinggi. Kau tau sampai sekarang, di Afrika sampai saat ini, ngajar anak itu ya dihajar...".

Aku balas ejek, "Makanya mereka sekarang terkebelakang. Dan mungkin saat ini dihajar itu perlu untuk membuat karakter keras. Secara, tiap hari bisa jumpa singa...kekekekek". Soal ejek-mengejek aku tidak mau kalah bro...

Kayaknya mereka berdua, bapak dan ibuku mulai angot. Ibuku bilang, "Eh, dengan cara kami mengajarkan kalian, ternyata kalian tidak jelek-jelek amat kan nasibnya?"

Sampai disini aku sedikit tercenung, rada lama. Aku berpikir. Ya juga ya..harus kuakui, anak orang-tuaku ada lima, dan boleh dibilang sampai saat ini tidak ada yang sial-sial amatlah nasibnya. Rada jiper juga mendebat lagi. Aku sudah berani mendebat cara mereka mengajar anak-anak sementara aku belum bisa membuktikan bagaimana aku menghantar anak-anakku ke hari dewasanya. Mereka sudah terbukti bleh...

Pmmmfff.... "Eh, mam, minggu depan jadi ga kita ke rumah bibi untuk acara penghiburan?", menutup debat dengan mengalihkan topik pembicaraan ke acara penghiburan salah satu keluargaku.

Dan debat tadi hilang begitu saja, berganti dengan debat lain tentu.

No comments:

Post a Comment