Kumasukkan kembali pistol kedalam bungkus tas kain untuk kemudian kuselusupkan sekenanya ke dalam tas dekil berbahan kulit sintetis itu.
Aku bersiap-siap untuk kembali bekerja untuk memecahkan sandi alinea ke-2
“Ok, seberapa hebat sih kau…”, gumamku lirih sambil seadanya mengambil sebuah kertas buram dari antara banyak kertas buram yang berserakan di lantai kamarku. Sebenarnya gumamanku ini lebih tepat seperti umpatan atas misteri yang masih membungkus alinea ke-2.
Walaupun kertas buram tadi kuambil seadanya, tetap kupilih yang masih belum begitu penuh dengan corat-coretku sebelumnya.
Aku mulai mengatur posisiku. Posisi paling favorit saat berpikir keras telah kupasang. Aku telah duduk jongkok menghadap kertas buram dan tas dekil itu. Kuambil pensil yang tergeletak sedari tadi di lantai kamar. Pensil itu sudah sangat tumpul, tapi masih bisa untuk dituliskan diatas kertas. Aku kembali mencorat coret.
Entah sudah berapa lama waktu lagi yang kuhabiskan. Sudah banyak coretan lagi yang kubuat diatas kertas itu, ketika aku memutuskan untuk menggali sesuatu hal yang baru.
“Jangan-jangan ini bukan permainan kata-kata. Jangan-jangan maksud M agar aku mengumpulkan benda-benda yang dituliskannya ini dalam wujud nyatanya….Ahaaa…… mungkin sekali…! Bodohnya aku!!”, benakku memaki diriku sendiri.
Tanpa menunggu lama, aku langsung bangkit berdiri. Membuka pintu kamar tidurku dengan sedikit tergopoh-gopoh.
Membawa secarik kertas buram dan membiarkan pintu tetap terbuka, segera menuju kamar si Mak.
“Mak…Mak….Makkkkkk”, aku setengah berteriak dan terus menuju kamar si Mak.
Belum sampai aku gedor kamarnya, si Mak telah membuka kamar dengan wajah bingung dan rambut sedikit acak-acakan.
Sebuah buku tebal yang usang berbahasa Belanda masih dipegangnya, pertanda dia tengah asyik membaca saat aku berteriak memanggil namanya.
“Ada apa sih Ten…”, tanya si Mak dengan raut wajah yang masih kebingungan. Tapi tidak lama, wajahnya segera menerbitkan wajah keibuan yang penuh kebijaksanaan dan bibirnya melempar senyum hangat kepadaku.
“Wahhh…Ten, pasti udah terpecahkan ya? Hebat, boleh dong bagi-bagi pesan rahasia M ke Mak?”
“Mak, belum Mak…belummmm. Tapi dengan bantuan Mak, aku punya feeling, ini pasti terpecahkan. Sini Mak..sini,” aku mengandeng tangan si Mak menuju dapur .
Sambil terus menggandeng, aku bicara nyerocos.
“Jadi Mak… dalam pesan M, ada satu alinea yang masih misteri, artinya aku belum bisa pecahkan. Aku udah coba semua cara, tapi belum berhasil memecahkannya. Alinea ini sangat sederhana. Menurutku sangat sederhana. Sehingga dalam kesederhanaannya inilah pesan ini terkunci sempurna. Mak, bantu Ten ya…bantu Mak….”.
“Heiii…tenangggg Ten…..jangan cepat-cepat jalannya…. Hehehe, Mak sudah tua nihhh…..”, kata si Mak sambil tergelak, namun terus mengikuti panduanku ke dapur.
Dapur kami ini sangatlah sederhana. Berukuran 3x4 m2, dengan ketinggian atap yang lebih tinggi dari bangunan utama.
Sebenarnya dapur ini bukan bangunan yang sejak awal dipersiapkan untuk dapur. Ini bangunan tambahan. M yang membuatnya ketika usiaku sekitar 10 atau 11 tahun. Dalam membangun dapur ini, M dibantu oleh seorang pria muda bertubuh tegap, berambut cepak, berwajah kotak dan keras layaknya batu. Kami menyebutnya dengan Mas Jepang, walau wajah dan kulitnya sama sekali tidak mirip dengan orang Jepang.
Sebutan itu bermula dari si Mak, oleh karena tiap pagi ketika datang untuk membantu M membangun dapur dan tiap kali pamit pulang ketika jam menunjukkan tepat jam 3 sore, ia selalu memberi hormat ala Jepang kepada si Mak. Hormat dengan membungkuk yang dalam tanpa kata-kata. Mas Jepang seingatku, hampir tidak pernah mengeluarkan suara. Irit bicara, namun bekerja sangat cekatan.
M menyempatkan membangun dapur ini tiap kali ia datang untuk melatihku. Jadi pembuatannya dilakukan secara bertahap. Tapi M dan Mas Jepang membangunnya dengan sangat cepat, kurang dari 10 kali kunjungan.
Yang membuat aku gembira dalam proses pembuatannya adalah, waktuku berlatih menjadi berkurang karena M menghabiskan separuh kunjungannya untuk mendirikan bangunan tambahan ini. Ketika M membangun dapur, aku bermain-main disekitar mereka sembari terus mengobrol dan bercanda dengan M. Sungguh menyenangkan.
Dapur kami dinding bawahnya terbuat dari bata, sedangkan separuh dinding atasnya terbuat dari papan keras. Tidak ada eternit. Atapnya terbuat dari nipah. Ringan dan membuat kesan sangat teduh pada ruangan tatkala siang hari.
Ornamen pada dapur ini sangat bercirikan dari daerah tertentu. Pada awal dapur ini selesai dibangun, aku rada seram berlama-lama sendirian di dapur ketika malam hari. Seperti ada sesuatu yang menakutkan yang terdapat dalam ornamen itu. Si Mak kemudian menjelaskan, bahwa M membuat dapur yang berornamen daerah Batak.
“Ten…ini diberi hiasan Gorga dari daerah Batak…”, demikian penjelasan si Mak. Aku tidak memberi perhatian atas penjelasan panjang lebarnya kala itu. Entah bagian mana yang disebut Gorga dan apa maknanya pada saat itu aku tidak begitu paham.
(Makna Gorga aku dapatkan belakangan saat aku menjadi sangat dewasa, kemudian hari)
Dan kami sudah berada di dapur.
“Ok, mau apa kita disini?”, tanya si Mak lembut.
“Gini Mak….aku mau Mak menyiapkan beberapa bahan yang ada di dapur kita ini. Cabe, ebi, nenas dan garam….”, sahutku cepat dengan antusias.
Sambil sigap mengumpulkan bahan yang kusebut tadi dengan membuka laci dapur pada bagian atas dan berpindah pada bagian bawah, si Mak berujar, “Kalau cabe, ebi dan garam ada Ten…. Tapi kalo nenas, Mak mana ada, tidak punyalah…!”
“Ya, aku juga sudah menduga Mak, tapi tidak apa, yang ada saja dulu…”, tukasku cepat dan memperhatikan dengan seksama bahan-bahan yang telah disiapkan si Mak diatas meja kompor yang ada persis didepan kami.
Aku membungkuk dan membolak-balik bahan-bahan itu. Cabe diambilkan oleh si Mak beberapa buah. Cabe Merah dan cabe rawit. Masing-masing empat buah. Ebi segenggam penuh diletakkan dalam piring lepek kecil. Dan garam masih didalam toples garam yang somplak pada gelas penutupnya. Toples garam kami memang demikian.
Aku membungkuk memegang kedua dengkulku dengan telapak tangan dan terus memperhatikan bahan-bahan itu. Mataku mencorong lekat dan tajam melihat bahan-bahan tadi.
Aku mendesah panjang berkali-kali karena tetap tidak mempunyai jawaban atas misteri alinea ke-2.
Entah berapa lama aku membungkuk, kemudian aku berdiri sambil mendekap tanganku sendiri di dada. Mataku tidak beralih sedikitpun dari bahan-bahan itu.
“Apa yang kau pikir Ten..”, tanya si Mak lirih seolah-olah tidak ingin membuyarkan konsentrasiku. Mata si Mak sibuk beralih dari tulisan di kertas buram, kemudian ke wajahku dan kepada bahan-bahan dapur itu.
“Hmmmmm….”, begitu saja jawabku tidak jelas. Mataku masih menatap bahan-bahan itu sambil masih dalam posisi berdiri yang sama.
“Apa ya kira-kira…..”, intonasi si Mak masih sama.
“Sayang tidak ada nenasnya..”, sahutku sekenanya.
“Kalau ada nenas, kenapa Ten, apa yang kau pikir?”, lanjut si Mak.
“Hmmmmm…”, sahutku tidak jelas.
“Kalau ada nenas kenapaaaa??”, tanya si Mak mulai tinggi karena dirundung penasaran, yang membuat wajahku berpaling kepada si Mak.
“Hahahahaha…aku juga belum tau Mak…Mak…. Aku kan cuma asal bicara. Kan memang tidak ada nenasnya….”, aku menjawab dengan tawa yang berderai. Namun tawa itu tidak mampu memecahkan suasana tegang yang telah terjadi sejak pagi tadi.
Aku membereskan ketiga bahan tadi. Cabe merah dan rawit tadi aku gabung kedalam piring lepek kecil itu. Toples garam kucengkeram pakai tangan kanan pada leher toples sementara piring lepek kecil sudah kupegang pada tangan kiriku.
“Ayo Mak kita duduk saja di ruang makan yuk…,”ajak ku sambil diikuti langsung oleh si Mak tanpa menjawab.
Sesampainya di meja makan, aku menarik kursi kayu dan menerbitkan suara gesekan kaki kursi ke lantai. Si Mak juga mengambil kursinya, namun dengan tidak menerbitkan suara apapun.
Nah, sekarang kami tengah menatap bahan-bahan itu sambil duduk di kursi makan. Ya, kami terdiam lama sembari memperhatikan bahan-bahan itu.
“Sayang ya tidak ada nenasnya”, gumam si Mak sambil memperhatikan aku. Wajahnya dibuat serius menirukan mimik wajah dan intonasi suaraku. Aku tau si Mak hanya ingin membuat lelucon dengan membuat nada suara persis suaraku tadi.
“Hehehehehe…..iya Mak”, aku tertawa garing karena terpaksa.
Kami terdiam lagi.
“Begini deh Ten…. Biar lebih mantap lagi, Mak coba akan cari nenas deh. Biar lebih tergambarkan dengan sempurna Ten. Siapa tau dengan begitu, otakmu kembali tokcer”, suara si Mak memecah keheningan.
Si Mak berdiri dan mendorong kursinya begitu saja sehingga menerbitkan suara khas kursi makan jika mengenai lantai dengan kasar.
“Mak, ambil uang dulu terus coba cari-cari di pasar di kampung sebelah. Berdoalah kamu Ten, masih ada tukang buah yang berjualan jam segini”, si Mak berlalu menuju kamarnya meninggalkan aku tercenung dan berpikir keras.
Aku masih berpikir keras ketika si Mak telah rapi dan bersiap-siap mencari nenas. Entah beberapa saat berlalu, tiba-tiba aku berteriak memangil si Mak.
“Makkkkkk………………….Makkkkkkkkkkk…………….. Tidak perlu pergi. Aku rasa kita sudah menemukan jawabannya”.
Aku mengejar si Mak ke pintu depan dan menemukan si Mak telah datang kembali dengan tergopoh-gopoh.
“Ada apa Ten… Sudah kamu pecahkan? Masa? Apa maksudnya Ten….”, tanya si Mak dengan girang sekali.
“Iya Mak…berkat Mak.. Mak memang jenius!!”, jawabku tak kalah girang.
“Alinea ke-2 adalah sebuah alamat. Itu adalah alamat Mak….Yihaaaaaa…. Mak ku memang pintarrrr…Mak tidak perlu mencari nenas lagi”.
No comments:
Post a Comment