Saturday, April 18, 2009

Mau Kaya Idealis atau Idealis Kaya?

Baru saja kemarin aku bertemu dengan beberapa kawan dekatku. Kami membahas sekolah yang akan kami rintis. Eitt..sabar..jangan bilang kami hebat dulu..ini hanya membangun training centre...modal cekak kok...hehehehehe..

Dibalik pemikiran pembentukan sekolah ini, kami memang berangkat dari idealisme yang sama untuk memberikan suatu model pendidikan yang berbeda dari yang sudah kami kenal selama ini. Tujuannya memang ingin memberi sesuatu yang bermakna bagi orang lain, dan tentu saja bagi diri kami juga. Teteupp...cari fulus juga lah!

Hmmm..idealisme.

Flashback.
Kira-kira dua tahun lalu, aku berkenalan dengan seorang penyair dan sastrawan terkenal bangsa ini. Sedikit yang tidak mengenalnya di Tanah Air ini. Yang tidak mengenal beliau ini pasti dapat dikategorikan manusia Indonesia yang bloon...hehehehe...

Seperti biasa, ketika aku berkenalan dengan seseorang yang terkenal maka aku selalu ingin dapat mengenalnya lebih dalam agar dapat menerima petuah-petuah berharga. Dan biasanya pula dalam perkenalan tersebut selalu saja timbul ideku untuk memberikan sesuatu kepada bangsa (juga kepada diriku ya tentu saja!). Mumpung aku sedang dekat dengan seseorang yang terkenal kan....


Ideku saat itu tentu saja dengan "menjual" sastrawan terkenal ini kepada bangsa Indonesia dalam suatu konsep acara yang unik dan spektakuler. Kebetulan pada saat itu, aku juga sedang mempunyai "anak-anak" yang menggeluti usaha event organizer.

Awalnya sambutan dari sastrawan ini hangat. Dan beliau memberikan aba-aba kepada para bawahannya - juga sastrawan, yang sering kita dengar dengan sebutan sastrawan muda - untuk menggodok bareng konsep acara yang bagus tersebut.


Namun pada akhirnya aku putuskan untuk tidak meneruskan acara ini untuk digelar. Batalkan.

Loh..kenapa?
Ck..ck..ck.. batal karena sebuah kata yang disebut Idealisme.

Whats wrong dude??

Begini...
Aku mendapatkan suatu getaran ketakutan yang kuat dari para sastrawan bahwa acara ini khawatirnya akan dibaca masyarakat sebagai acara yang "profit-oriented" semata-mata. Namun disisi lain, disamping getaran yang kuat tadi, juga ada getaran kegembiraan yang hampir sama kuatnya karena membayangkan hasil akhir dari acara ini yang dapat membuat mereka kaya. Ketakutan dan kegembiraan yang berlarut-larut dalam rasa imaginer. Aneh dan lucu bukan?


Aku frustrasi.

Oia, perlu kujelaskan disini, bahwa para sastrawan yang karyanya sangat luar biasa ini tidak kaya. Apalagi para sastrawan mudanya..ampun dehh... Trenyuh melihat ksatria bangsa tapi kok hidupnya susah.

Nahhh...awalnya ideku lahir justru karena melihat kenyataan bahwa ada potensi untuk kaya dari karya-karya mereka. Masalahnya adalah "How to Sell??". Aku punya konsep, dan kemampuan menjalankan event sedangkan mereka punya roh dari konsep itu. Apabila digabungkan maka hasilnya tidak lain dan tidak bukan suatu persembahan spektakuler bagi bangsa.
"Pasti menjaring uang nehhh...", Pikirku.

Setelah rakyat kami berikan tontonan yang mendidik dan menarik, dan sesaat layar panggung tertutup, penontong pulang, maka aku dan para sastrawan akan menghitung uang dan berbagi uang hasil laba.
Pasti kami kenyang dehh...mirip ular sanca yang makan seekor sapi, bisa puasa berbulan-bulan dehhhhh....
Apa ada yang salah?? Hahahaha...kalau menurutku tidak ada yang salah. Bahkan para sastrawan itupun tidak berani dengan tegas mengatakan bahwa ideku salah. Yang salah bagiku adalah keragu-raguan. Keragu-raguan mereka terlalu lama, membuat dayaku kehilangan momentumnya, aku frustrasi dan akhirnya batal...! Mereka ragu, apakah pantas menghitung uang hasil keringat rakyat dari acara yang digelar itu??

Setengah marah - walau menurutku aku mampu menyembunyikan ekspresi wajah marahku, namun dari intonasi yang lesu pastilah mereka paham, aku tidak sependapat dan kecewa - aku berkata kepada mereka :

"Bagi saya, idealisme yang membuat kita terkungkung dalam kemiskinan adalah basi. Seharusnya idealisme yang benar adalah idealisme yang memerdekakan kita untuk menjadi sejahtera!"


Dan kata-kata itu, aku yakin juga didengar oleh sastrawan tua, sang aset bangsa yang tidak ternilai harganya itu.


Oke, kita kembali lagi.
Saat inipun kami tengah membangun sekolah yang juga mempunyai idealisme tinggi. Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan?? Wow..itu idealisme kawan....

Dan aku mau semua orang tau, ketika aku menulis "membangun sekolah", hendaknya dibaca "membangun bisnis". Ingat kami ini bukan Ford Foundation...belum coyyy.

Membangun bisnis tanpa kehilangan idealisme adalah hal yang ingin kucapai. Idealisme dan kekayaan bukan dua kutub yang berlainan. Menjalankan idealisme sembari bisa menjadi lebih kaya adalah idealisme yang pintar.

No comments:

Post a Comment