Monday, October 5, 2009

Buluh Runcing Merah Putih

Teman etnis Tionghoa marah-marah di status facebook nya. Beliau protes berat yang dibarengi dengan makian tajam. Protesnya mengungkapkan perlakuan yang tidak adil dari pemerintah daerah terhadap korban gempa etnis Tionghoa. Disebutkannya lagi bahwa bantuan gempa tidak diperuntukkan bagi kaumnya karena mereka dicuekin, diusir dan disuruh membayar atas bantuan yang diterima. Kalimatnya diakhiri dengan makian…

Hmmmm….

Sejenak aku tertegun. Apa benar pemerintah daerah memperlakukan manusia (baca : warganya) seperti itu? Kalau benar, tentu hal demikian tidak akan termaafkan!

Penasaran akan statusnya itu, segera aku melakukan jelajah maya dengan fasilitas Google. Dengan keywords tertentu akhirnya aku temukan berita tersebut dalam salah satu situs berita terkenal di tanah air.

“Wah, bener juga nih…”, pikirku segera setelah membacanya.

“Asuuuuuuuu……!”, makiku spontan.

Masih penasaran dengan kebenaran cerita itu, dengan sabar aku terus melakukan penjelajahan dalam dunia jaringan maya ini. Ditingkahi dengan kesibukanku yang lain aku terus dan terus menjelajah.

Aha… ada argumentasi rupanya.

Baru aku temukan pada sebuah situs informasi yang dimiliki oleh anak negeri juga, pernah bermarkas di USA, namun sekarang sudah “balik kampung” ke tanah air. Dari sebuah wacana diskusi tentang gempa di Sumatera Barat, ada peserta diskusi yang melakukan “copy-paste” dari situs berita tadi mengenai berita perlakuan diskriminatif tersebut, berulang kali.

Copy-paste yang dilakukan berulang kali ini dapat dimengerti. Aku paham sepenuhnya, karena andai saja aku merasa ada handai taulan yang diperlakuan seperti binatang tersebut, mungkin yang kulakukan lebih daripada sekedar copy-paste untuk menarik perhatian pembaca.

Tapi sabar dulu.

Ternyata setelah berkali-kali diposting secara provokatif perihal diskriminasi itu, akhirnya ada yang menanggapi. Nah mulai asyik….

Sementara itu, aku mencoba melirik komentar tanggapan dari para temennya temenku itu di facebook.

Wuidihhhh…seru abisssss….hehehehe..

Semua yang memberi komentar tampaknya adalah saudara-saudaraku yang etnis Tionghoa. Rata-rata komentar mereka bernada marah. Tapi lihatlah, diantara yang marah-marah, ternyata ada juga yang bijak. Dengan mencari berita yang benar, sang pemberi komentar yang bijak ini bahkan memberikan “URL link” atas berita-berita yang memuat semua berita-berita diskriminatif tadi. Dan kebetulan nih…..setelah melihat link tersebut, ternyata sama dengan situs diskusi yang tengah kubaca.

Dengan memberikan URL link atas berita yang sangat sensitif ini diharapkan kita bisa menilai dan mencari tahu dengan kepala dingin atas apa yang sesungguhnya terjadi.

Dan bagiku, ternyata status temanku itu menjadi garing setelah bertimbang-timbang, berpikir dan menganalisa kebenaran itu. Aku menganggap ini tidak seserius itu. Dulu peristiwa serupa di wilayah Aceh, pada saat bencana tsunami, katanya juga pernah terjadi. Katanya….

Beginilah aku menilai dari sudut pandangku.

Mungkin saja peristiwa itu terjadi, yakni pengusiran dan pemalakan duit atas bantuan terhadap etnis Tionghoa. Sehingga yang harus dilakukan adalah segera melaporkan kepada badan-badan independen, lembaga swadaya masyarakat yang terkemuka disertai dengan bukti yang cukup. Bukti yang cukup, tentu saja rada susah. Tapi minimal, dapatkan lokasi penyimpangan tersebut, nama pelaku dan kapan terjadinya peristiwa itu. Jangan melakukan posting di situs-situs yang tanpa bukti, karena pihak lain akan balas memposting dengan bantahan. Wong cuma nulis tanpa bukti kok..

Oia, bersamaan dengan aku menulis ini, Metro TV dengan sangat kebetulan menampilkan perihal berita diskrimatif ini. Di tv, semuanya dibantah. Nampak pula di layar tv, Walikota Padang, Fauzi Bahar, tengah mengangkut sekarung sembako di pundaknya di wilayah pemukiman etnis Tionghoa.

Dan disitus berita yang kusebut diawal tadi, nampak sanggahan seseorang peserta diskusi dengan memuat photo antrian yang panjang dari para etnis Tionghoa ini. Nampak pula photo seorang bapak-bapak berwajah oriental membawa bungkusan bantuan. Dan semuanya tampak baik-baik saja. Kalau sudah begini, andai peristiwa itu nyata terjadi, rada repot mempercayainya jika hanya dilaporkan tanpa bukti yang jelas, ini maksudku.

Disamping itu, di dalam situs berita itu memang disebutkan bantuan kepada pemukiman etnis Tionghoa belum ada. Mungkin aku kurang jeli membaca, namun aku tidak membaca berita bahwa terjadi pemalakan duit atas bantuan yang diterima. Hanya disebutkan bahwa bantuan belum diterima, baik evakuasi korban maupun bantuan makanan.

Nah, kalau masalah ini, aku tahu persis, banyak beberapa tempat yang sama sekali belum tersentuh apapun, tidak perduli etnis apapun dia. Begitu kecil bantuan, begitu kecil tenaga bala bantuan dibanding kerusakan yang ada. Yang perlu dilakukan adalah bersabar (maksudnya jangan naik darah dulu, bukan terpekur dan tidak bertindak apa-apa) dan memberitahukan kepada para saudara dan handai taulan di daerah lain agar sedapat mungkin mengerahkan bantuan ke lokasi yang belum tersentuh itu. Dalam keadaan runyam dan semrawut begini, sah-sah saja bantuan kita berikan kepada orang-orang yang kita kenal dan sayangi lebih dulu. Jadi coba jangan menyalahkan siapa-siapa, kabarkan saja kepada siapapun saudara-saudara, sanak famili, teman-teman dan kenalan-kenalan kita dengan segera agar bantuan cepat tiba.

Mungkin saja peristiwa itu terjadi, yakni pengusiran dan pemalakan duit atas bantuan terhadap etnis Tionghoa. Tapi andai pun terjadi, pastilah dilakukan oleh oknum-oknum biadab, dan tidak menjadi kebijakan yang sistematis pemerintah demikian. Oknum-oknum ini memang binatang yang terperangkap dalam tubuh manusia. Jadi tidak di Aceh, Tasikmalaya, Sumatera, atau dimana saja dimuka bumi ini, oknum-oknum biadab ini tetap melakukan hal demikian.

Terkutuklah mereka, karena oknum biadab ini tidak ada tempat didunia apalagi di akhirat.

Jadi santai aja bro....

Time to reflect, yang artinya, waktu untuk mijit tapak kaki… :-)

Yah, sekarang waktunya buat refleksi diri.

Begini.

Setelah aku melihat status kawanku yang etnis Tionghoa ini aku mencoba untuk membaca beberapa sejarah status yang pernah ditulis dalam wall facebook nya. Hehehe, ternyata budak ini pun sedikit rasis.. Beberapa komentarnya sangat mengesankan dia mencintai rasnya dan merendahkan ras orang lain.

Temenku ini pernah menyebutkan istilah Tiko, walau dengan menulis "*I**", tapi aku jelas paham maksudnya. Sebagai orang yang mempunyai temen dari etnis Tionghoa dan pribumi sama banyaknya, aku mengerti istilah Tiko. Dalam status facebook-nya dia beranggapan masalah dari kota Jakarta adalah Tiko…huahahahahaha….parah nih bocah. Rasis.

Tiko adalah istilah yang digunakan etnis Tionghoa untuk menyebut pribumi. Namun yang perlu diketahui adalah istilah tiko berkonotasi merendahkan. Mirip orang Malaysia menyebut orang Indonesia dengan Indon. Atau ejekan orang Indonesia untuk orang Malaysia dengan Malon.

Semua istilah itu tidak baik digunakan terutama dalam wall status di facebook. Harusnya temanku ini tahu mengenai ini. Tapi seorang sarjana dan masih sangat belia, seperti temanku tersebut, masih menggunakan istilah tidak sopan dan usang ini, tentu saja mengagetkan. Apa masih banyak orang-orang yang seperti ini?? Tapi melihat dari komentar-komentar teman “se-ras” nya, kelihatannya masih saja ada bahaya laten ini.

Disisi lain, sebagai orang pribumi, aku juga masih saja menyaksikan kaum pribumi seperti kaumku, melihat etnis Tionghoa ini ibarat musuh yang harus dilenyapkan atau diperas sampai habis duitnya.

Jadi jangan pernah heran kalau kedua jenis “hewan mamalia” ini bertemu akan saling jegal dan menjelek-jelekan satu sama lain.

Hmmm…mudah-mudahan temanku yang dari etnis Tionghoa ini tidak terkena bencana, karena bisa saja oleh teman pribumiku yang bermental hewan tersebut akan dipalak!

“Eh..ini kan engkoh yang rasis itu kan…yang suka bilang kita teko ato tiko itu kan…peras ajalah…, udh kena gempa, masih hidup aja ni cina!”

“Bajingan….wa olang udh ketiban bencana masih aja dipelas ama tiko laknat ini!!”

Hahahaha…. See What I Mean??

Stop lah semua sikap-sikap itu. Kita ini sama. Terbuat dari bahan baku yang sama kok. Makan dari mulut, berak dari pantat kok. Sama kok!

Berhenti curiga-mencurigai, berhenti merendahkan. Semoga kita menjadi manusia yang lebih baik.

Lanjut.

Mungkin saja masalah ini terkait dengan istilah mayoritas dan minoritas. Tolong jangan memperbesar masalah ini. Jangan menganggap ada yang mayoritas sehingga merasa berhak berkuasa dari yang lain.

Mungkin aku salah, tapi aku sangat yakin. Yang membuat kita “powerful” bukan karena kita ada di pihak yang banyak, tapi kita ada di pihak yang benar.

Orang-orang yang masih senang dengan polemik stigma mayoritas dan minoritas, aku yakin seyakin-yakinnya adalah makhluk yang masih primitif. Yang kuat yang menang, yang kaya yang memperkosa, yang banyak yang hebat, menekan dan harus berkuasa. Masa sih?

Mayoritas dan minoritas ini membingungkan. Coba perhatikan ya..

Dulu aku SD, SMP dan SMA bersekolah di tempat yang hampir 90% etnis Tionghoa. Mayoritaskan etnis Tionghoa? Kok aku pribumi jadi minoritas??

Begitu aku kuliah, di tempatku kuliah, etnis Tionghoa jadi minoritas. Aku merasa mayoritas karena pribumi. Tapi sabar, eh, aku masih minoritas rupanya. Aku minoritas buat temanku yang etnis Jawa. Aku juga minoritas dari sudut pandang agama.

Begitu aku bersama teman-teman Jawa dan Tionghoa ku sedang berwisata kedaerah tertentu, tiba-tiba saja aku jadi mayoritas dari sudut pandang apapun. Termasuk dari sudut pandang ekonomi.

Dan begitu aku bersama kawan-kawan ku yang selalu merasa mayoritas, melihat dunia, ternyata kami tidak berarti apa-apa.

Begitu yang merasa mayoritas sehingga merasa superior menghadapi gempa, menjadi tidak berdaya, lemah dan minoritas sekali. Tidak ada bedanya dengan yang dianggapnya minoritas. Semuanya berteriak memohon keselamatan jiwanya.

Katakan pada dirimu, apa itu mayoritas? Pentingkah itu??

Oia, yang merasa mayoritas sudah mengucurkan bantuan untuk korban gempa belum? Yah minimal buat etnis mu lah…Aku tidak perduli, yang penting bantulah, etnis manapun bagus! Jangan bilang mau bantu doa atau komentar ya?! Mereka sudah terlalu banyak berdoa dan berteriak. Bantulah dengan hal nyata!

Mana darahmu yang merah itu…Mana tulangmu yang putih itu….. Mana??

Sedang asyik menulis sambil nonton berita dan browsing, tiba-tiba aku membaca sebuah tulisan…

“Siap2 saja kalian malon2...pasukan gagah berani Indonesia bersenjatakan "buluh runcing merah putih"...nak serang kalian...hahahahaaaaaaaaa....”.

Aku tertawa ngakak…rupanya komentar itu berhubungan dengan kekesalan atas Malaysia yang bolak-balik mengklaim budaya Indonesia.

Good!

No comments:

Post a Comment