Sunday, October 11, 2009

Penggalan Kisah Heroik - Misteri Tas Busuk 2

Aku kesal. Kuletakkan tas dekil itu di ubin persis diluar kamar mandi, dipojokan. Masih dengan gestur yang malas, aku menuju ke meja makan, duduk dan langsung menyabet tahu goreng buatan si Mak. Sambil mengunyah tahu aku menyeruput teh yang sudah lama dingin.

“Ten, jangan-jangan dari M loh, hadiah ulang tahunmu… Tas nya Mak buka aja yah?”, tanya si Mak. Tiba-tiba si Mak sudah berjongkok di depan tas dekil itu.

Si Mak memanggilku dengan “Ten”. Nama lengkapku adalah Tendra. M yang membuat nama itu. Dia pernah bilang bahwa namaku diambil dari bahasa Sanksekerta yang berarti “ksatria”. Disamping itu, menurut M, Tendra dapat juga dimaknai dengan “Sepuluh Indra”.

“Ten” berarti sepuluh dan “Dra” berarti Indra. Jadi kalau ingin berhasil, kekuatan panca indra harus didobelkan, demikian penjelasan lanjutan dari M.
Aku sendiri lebih senang makna aslinya yakni ksatria, aku tidak mengerti jelas bagaimana caranya mendobelkan kekuatan panca indra. Akh kadang-kadang M memang suka mengada-ada!

“Buka lah Mak…ya pastilah itu dari M..”, tukas ku segera tanpa berpikir.

“Apa isinya Mak?”

“Sebentar…”, balas si Mak.

Setelah aku mengunyah tahu goreng yang ketiga, aku sadar bahwa terlalu lama buat si Mak untuk menjawab pertanyaan tadi. Aku bertanya lagi tanpa melihat kearah si Mak.

“Mak…apa sih isinya??”

Si Mak masih terdiam. Dia berjalan menuju tempat aku duduk. Tas dekil dikepitnya di ketiak sebelah kiri, secarik kertas kumal terlipat rapi, sudah berada di tangan kanan si Mak, terselip pada jemari-jemari tangannya.

Dia duduk persis disampingku. Tas dekil terlihat telah terbuka seluruhnya. Tas kain hitam yang berada didalam tas dekil juga sepertinya sudah dibuka oleh si Mak. Si Mak menyerahkan kertas kumal padaku sambil berujar singkat, “Baca..”.

Melihat mimik wajah si Mak yang menegang, aku tau ini pastilah masalah yang serius. Tanpa banyak tanya aku segera meraih kertas itu, membukanya dan membaca. Segera isi tulisannya membuat jidatku berkernyit.

Begini bunyinya :

“Tegur pas 1. Embun Pelumas Kelu.

Cabe, Ebi, Nenas, Garam. BARU, 5.

Deercod, W.”

Yang membuat jantung berdebar keras, ternyata isi dari tas kain hitam adalah sebuah senjata api. Pistol itu tampak hitam mengkilap, sedikit berminyak. Tampaknya baru saja dibersihkan dengan menggunakan minyak khusus yang menodai sampai ke risleting tas dekil itu.

Apa arti semua ini?

Si Mak dan aku saling berpandangan sejenak sebelum si Mak merangkulku dan berbisik lirih, “Perasaan Mak berkata, inilah waktumu. Ten waktumu telah tiba…”

Aku tertegun.

Terlintas kenangan beberapa tahun silam, saat aku bertanya pada M mengenai semua perihal aneh yang melingkupi seluruh kehidupanku. Semua hari-hariku yang penuh dengan latihan dan ujian itu.

Berulang kali M hanya berkata singkat dengan mata rada menerawang, “Pasti terjawab saat waktumu tiba..”

“Waktuku?”

“Ya, waktumu sebentar lagi…”

“Waktu untuk apa M?”

“Waktu untuk berbuat bagi orang banyak…, saat itu lakukan yang M instruksikan. Lakukan! Kamu dengar Ten?”

“Aku tidak mengerti M…”.

“Jawab saja, apakah kau dengar?”

“Ya, Tendra dengar..”

“Berjanjilah dengan segenap raga dan jiwamu, bahwa saat itu, kamu akan melakukan semua yang M instruksikan padamu tanpa bertanya apapun. Bahkan tidak juga dalam hatimu sekalipun. Berjanjilah….!”

“Ya, Ten berjanji..”

“Yang tegasss Ten….!!”

“YA..TEN BERJANJI…!!!”

Sementara si Mak masih merangkulku, aku berpikir keras apa arti dari surat itu. Perlahan si Mak bangkit berdiri dari tempat duduknya, merapihkan tas dekil dan secarik kertas kumal. Diletakkannya persis didepanku.

Si Mak berkata, “Ten, semua ini buatmu…kamu simak dan pelajari apa maksud semua ini. Kalau perlu bantuan Mak, panggil saja ya…”.

Si Mak mencium keningku, membelai, merapihkan rambutku yang masih acak-acakan dan masuk kedalam kamarnya meninggalkanku sendiri.

Tanpa membuang waktu, aku meraih kertas kumal itu. Pelan-pelan kubaca kembali.

“Tegur pas 1. Embun Pelumas Kelu.

Cabe, Ebi, Nenas, Garam. BARU, 5.

Deercod, W.”

Aku bergumam, “Ini surat sandi”.

Aku telah belajar sandi sejak kecil. M mengajariku dari yang sederhana hingga yang agak rumit. Sekarang M memberiku surat sandi dan senjata api. Apakah ini hadiah ulang tahunku? Aku tidak tahu. Belum tahu.

Aku perlu ketenangan.
Aku beranjak dari tempat dudukku di ruang makan. Aku akan memecahkan surat sandi ini di kamarku. Kutenteng tas dekil berikut isi-isinya. Aku melangkah menuju kamar, membuka pintu kamar dan menutup rapat-rapat dan menguncinya dari dalam.

Kebiasaanku untuk berkonsentrasi dimulai.

Aku duduk bersila dilantai, kusandarkan punggungku ke sisi tempat tidur. Tas dekil kuletakkan diatas tempat tidur setelah mengeluarkan secarik kertas kumal yang berisi surat sandi itu.

Sekarang dalam posisi bersila di lantai, aku sedang berhadap-hadapan dengan surat sandi M. Surat itu kuletakkan di lantai.

Aku menggeratak rak kecil yang terbuat dari kayu jati tua persis disamping tempat tidur mencari kertas buram dan pencil. Tanpa merubah posisi duduk dan tanpa melihat, jariku terus mencari-cari didalam laci rak itu. Setelah jari-jariku merasakan mendapatkan kedua benda itu, aku meletakkan kertas buram disamping surat sandi dan mulai mencorat-coret.

Setelah beberapa saat aku mencorat-coret, menghabiskan beberapa kertas buram, sepertinya alinea pertama dari surat sandi mulai terpecahkan. Aku menulis hasil dari corat-coretku dengan lebih rapi keatas kertas buram yang masih kosong. Kertas buram yang kosong ini memang sengaja kupersiapkan untuk menuliskan hasil akhir dari sandi yang menurutku sudah kupecahkan. Aku menulis lengkap alinea pertama, kalimat sandinya dengan makna sandi dibawahnya.

“Tegur pas 1. Embun Pelumas Kelu”.
Tugas per 1. Sebelum Pukul Enam”.

Aku melihat lagi hasil tulisanku. Aku senang karena merasa yakin akan pekerjaanku memecahkan sandi pada alinea pertama.

Pastilah kalimat ini bermakna bahwa, ini adalah tugasku yang pertama yang harus kuselesaikan sebelum pukul enam sore ini.

Berdegup jantungku dan spontan aku melirik melihat jam meja diatas rak kecilku. Tugas pertama?? Aku merasa ini bukanlah tugas seperti biasa. Ini bukan PR yang akan diperiksa M ketika berkunjung. Ini sepertinya tugas yang khusus.

Pukul 11.16.

“Wah...masih banyak waktu…”, tanpa sadar aku berbicara sendiri.

Kembali aku tenggelam dengan surat sandi. Alinea kedua.

Kembali mencorat-coret. Tidak kurasakan pinggangku yang mulai sakit karena aku selalu menulis dengan membungkuk sambil bersila. Kakiku telah berulang kali kesemutan. Pantatku mulai pegal. Tapi aku tidak perduli. Aku terus mencorat-coret kertas buramku. Sudah belasan kertas sudah.

No comments:

Post a Comment