Magelang awal tahun 1996, hari Minggu pagi.
Aku biasanya bangun telat. Tapi kali ini tidak. Aku bangun kepagian. Aku melirik anak pertamaku yang masih balita yang memang tidur bersamaku setiap hari. Dia juga masih terlelap. Aku tidak langsung bangun dari tempat tidurku, tapi mulai memeluk, menciumi pipi tembemnya dan terus mengendus-endus bau keringat anak-anak yang khas tercampur dengan aroma minyak kayu putih dan minyak telon. Entah karena terlalu bersemangat menciuminya, anakku terbangun.
Biasanya kalau dia terbangun aku puya kegiatan baru. Akhir-akhir ini sering kulakukan. Aku mengambil bedaknya, Johnson & Johnson, ketaburkan ke telapak tanganku, kemudian aku sapu ke leher sampai ke sela-sela lekukan lehernya. Ini kulakukan agar tubuh anakku lebih wangi sebelum benar-benar dimandikan – meminjam istilah kakeknya (bapakku), biar terhindar dari aroma “gethuk”. Hehehehe…. Tidak cukup sampai disitu. Wajahnya akan kuhias dengan hiasan coreng moreng bedak ala Indian yang hendak maju perang. Hihihi..lucu.
Setelah selesai “mendadani”, aku menggendongnya keluar rumah. Duduk di kursi bambu di teras depan rumah. Masih pagi, kira-kira jam setengah 7 pagi. Sambil bercakap-cakap bahasa bayi dengan anakku aku mengkilik-kilik dan menciumi pipinya. Dan kami bermain-main di halaman depan.
Menikmati pagi di daerah ini sangat mengesankan. Sisa halimun terhampar dimana-mana membuat pemandangan samar-samar. Udara sangat sejuk karena kota ini memang terletak di dataran tinggi. Pemandangan pegunungan biasa terlihat. Jam-jam segini kicau burung sangat riuh rendah. Sepertinya semua jenis burung gunung ada disini dan agaknya mereka sedang pamer keindahan suara……
Ayam peliharaan tetangga pun sudah sibuk mengkais-kais makanan di halaman. Ya halaman siapa saja.
Nah..bicara masalah ayam nihhh…..
Barusan aku melihat seekor ayam tetangga. Berjenis ayam besar. Ayam jantan jenis ayam Bali. Ayam ini sangat mengesankan. Keberaniannya mengagumkan. Daya jelajahnya luas. Biasanya pagi-pagi begini dia mengais-ngais di halaman rumahku. Cinta dia dengan halaman depan rumahku!
Sedikit gambaran mengenai rumahku. Aku sewa dari sepasang suami istri paruh baya. Rumah besar yang berdiri di areal tanah yang luas dan berada di pinggiran kota yang menuju Yogya. 5 kamar tidur, 2 kamar mandi. Garasi sangat luas bisa diisi oleh 4 mobil dengan car port dibelakang garasi yang bisa dipenuhi dengan jumlah mobil yang sama dengan garasi. Cocok untuk keluarga yang sering dikunjungi sanak family. Halaman belakang disemen seluruhnya, tanpa atap dan disebagian halaman ada bak penampung yang diberi ubin bagus sehingga jika kita melongok dari pintu bak akan terlihat bak besar penuh air seperti kolam renang. Air tampak biru kehijau-hijauan, bersih. Entah apa maksudnya bak ini mengingat air sangat mudah didapat. Halaman depan dibiarkan berumput dan tanpa pagar. Ya karena tanpa pagar ini, ayam-ayam peliharaan tetangga sering mampir tanpa ijin. Bagiku tidak menjadi masalah, mengingat aku juga senang melihat pemandangan alami begini.
Kembali ke si-ayam Bali.
Ayam ini sangat pemberani. Sangking beraninya ayam ini bahkan berani mengejar dan mematuk betis orang yang melintas di depan rumah majikannya tatkala orang itu melintas dan mengganggu kesibukan si ayam saat mencari-cari makan. Memang semua jenis binatang kan territorial, tapi masa ayam sampai segitunya sih? Kalau macan aku maklum deh. Terus si ayam ini, jika diusir jarang lari terbirit-birit. Ia hanya minggir sepuluh-duapuluh langkah, sambil melirik dan membusung khas ayam jago yang arogan. Sambil menyingkir dia malah sering berkokok seolah ingin mengatakan, “hiya deh..itu karena rumah lu…coba kalo berani kesini deh..gw taji jidat luh…”. Sompret kan…
Dan sepertinya wilayah kekuasaannya cukup jauh. Artinya kejagoannya tidak ada yang menandingi untuk wilayah satu RW ini (mungkin)… Sering kalau berpapas dengan aku, kulihat dia sedang mengejar ayam jago jenis ayam kampung. Bahkan beberapa kali kulihat mengejar-ngejar ayam jago jenis ayam Bangkok.
Nah, ayam Bangkok dengan ayam Bali ini kira-kira seukuran deh. Ayam Bali terlihat lebih bulat gempal karena pendek, ayam Bangkok terlihat lebih jangkung. Bicara berat badan nyaris sama lah… Tapi itupun sering kulihat ayam Bangkok dibantainya. Hebat!
Rupanya kehebatan ayam Bali ini sampai juga ketelinga dan penglihatan bapakku. Ya, ada penjelasan lagi nih.. Sabar ya, kujelaskan dulu biar ngerti.
Ya, bapakku sejak menginjak usia yang ke 58 divonis dokter untuk dijauhkan dari polusi udara seperti debu dan asap kendaraan bermotor. Paru-paru nya bahkan sudah ada flek-flek karena alergi polutan itu. Rumah kami di Jakarta persis berada di jantung polusi. Wilayah Jakarta Kota, sangat dekat dengan Jalan Gajah Mada. Mendengar vonis itu, keluarga memutuskan agar bapakku pensiun dini dari pekerjaannya dan hijrah ke daerah yang sehat. Pilihan jatuh ke kota Magelang. Dalam pengertian lain ya, orang tua ku sementara harus ikut “menumpang” di rumahku. Ya singkat cerita kedua orang tuaku ikut tinggal bersamaku di Magelang kota yang sangat sehat. Saat ini bapakku sudah sembuh alergi polusi dan tidak tinggal bersama-sama ku lagi.
Kembali ke ayam Bali.
Rupanya bapakku “naksir” dengan kehebatan ayam Bali. Entah darimana asal muasal muncul keisengan bapakku terhadap ayam Bali ini –walau bapakku sudah dari dulu terkenal iseng. Tapi menurut pengakuannya, bapakku sebal dengan ayam sompret itu. Selalu menjelajah halaman rumah orang, cari makan, berak sembarangan..ehh..pas diusir suka nantang!
“Ini ayam kurang ajar.. Tak ada adat nya!”, demikian umpatan bapakku samb il menimpuki ayam Bali itu dengan batu-batu kecil.
Aku ngekek. Sejak kapan ada ayam yang beradat! Sibuk kali pun ini orang tua!
Kejengkelan bapakku semakin hari semakin memuncak tatkala anakku yang masih belajar jalan, dikejar-kejar ayam sompret itu. Anakku terbirit-birit histeris, padahal di halaman rumahku sendiri. Hahahaha…mendidih bapakku. Aku sendiri tenang-tenang saja. Setidaknya tampak luar. Padahal, aku juga tengah merancang pembalasan dendam. Beberapa hari kemudian aku sengaja melintas didepan rumah majikannya ketika kutengok si ayam sompret sedang mengkais-kais makanan. Aku tahu, jika ia kuganggu dengan jalan persis didepan moncongnya (bc :paruhnya..hihihi), maka secara reflex ia akan menyerang.
Ya, aku sengaja berjalan di depan moncongnya. Dengan cekatan ia menghindar dan mulai maju menyerang. Tenaga yang sejak tadi kukumpulkan pada kaki kanan dan kupersiapkan untuk “menghukum” segera menyambutnya. Tendanganku persis bersarang didadanya dan ia terhempas ke lalang-lalang. Tendangan itu persis seperti jika kita mengincar bola yang sedang berjalan pelan kearah kita, dan kita menendang dengan menggunakan kaki kanan sebelah luar sekuat tenaga. Tendangan ini biasanya akan membuat gerakan bola yang kita tendang menjauh kearah kanan dan pada titik tertentu akan terbuang kembali kearah kiri, mirip bentuk pisang, dan oleh karenanya dalam istilah sepak bola disebut tendangan pisang.
Percayalah, tendangan itu telak karena sudah dipersiapkan matang. Ayam sompret tadi juga terhempas layaknya bola. Menjauh kearah kanan dan menghilang di lalang-lalang disamping rumah majikannya. Kena tendangan pisang!
Tidak terdengar suara apapun dari ayam sompret, kecuali bunyi, “BUUUPPPPP…!!!”, ya suara tendangan yang mengenai dada ayam sompret dan, “SRETTTTTTTTTTTTTTTT…….”, bunyi benda yang menerabas paksa ilalang lebat.
Dengan santai, seolah tidak ada kejadian apapun, aku balik kearah rumahku. Siang itu lagi sepi. Dan memang daerah perumahanku sangat sepi, masih banyak tanah kosong. Aku yakin tidak ada seorangpun yang melihatnya. Huahahahaha….. aku menduga dengan kuat, si sompret pasti tewas!
Apa yang terjadi?
Keesokan pagi, aku dibangunkan oleh suara kokok ayam jago yang khas… Terpaksa aku bangun dan keluar rumah menuju halaman depan hanya untuk membuktikan pendengaranku. Alahmakkk… si sompret dengan membusung dada, sedang berkokok (lagi). Ditemani para betina-betina, gendak-gendaknya (tampak ayam betina seantero RW di-aku-nya, dan para betina terlihat senang berada didekat si sompret!!), ia sedang memperhatikanku dengan khas ayam jago yang arogan, seolah berkata, “Haloooo coy…I’m back.. Cuma segitu kemampuan luh..???”
HAHAHAHAHA….. aku geleng-geleng kepala. Tidak terlihat ayam sompret ini menderita sedikitpun. Diam-diam aku mengagumi keberanian dan kegagahannya. Aku mengaku kalah.
“Sudahlah binatang jahanam…suka-suka mu lahhh….!”, begitu aku bergumam.
Walau aku sudah mengangkat topi dan membiarkan saja si sompret yang hebat itu berlagak sesukanya, namun tidak demikian dengan bapakku. Dia punya cara sendiri.
Dia punya hobi baru. Bapakku sering menghabiskan waktu ke sebuah pasar. Dia mencari-cari ayam Bangkok jantan yang hebat untuk disabung dengan ayam Bali. Wahhh…nampaknya mulai kumat usilnya! Habis, tiddak ada kerjaan juga kan…pensiun dini kan…bhuahahahaha…
Ketika dia mendapatkan ayam Bangkok yang menurutnya hebat, maka diasingkan semalam di halaman belakang. Diberi nama. Dirawat dan seolah-olah ingin memulihkan stamina jago nya. Kan habis dipajang di pasar dan diangkut kesana-kemari. Mungkin begitulah pemikiran bapakku. Aku dapat menduga bahwa ayam Bangkok nya ini pasti ingin ditarungkan dengan si ayam sompret! Tadinya aku tidak mengetahui detailnya. Walau aku dapat menduga ayam-ayam yang dibelinya dipersiapkan untuk bertarung melawan ayam sompret, tapi aku tidak pernah mendapat “laporan pandangan mata” mengenai hal ini.
Bapakku yang akhirnya memberitahukannya. Itupun setelah tetangga si empunya ayam protes berat lewat pembantu dan keponakanku yang ikut bersama-sama aku. Protesnya disampaikan lewat mereka agar ayam Bali nya jangan diadu-adu lagi. Ayam Bali itu sudah babak belur…..
Memang benar. Setelah kucek, ayam sompret itu luka diseluruh kepala, menyisakan darah kering dimana-mana. Mata sebelah kiri buta. Aku menduga, tubuhnya pun pasti penuh patukan parah.
Saat kudesak untuk menceritakan perihal protes tetangga dan keadaan ayam sompret yang menggenaskan, bapakku tergelak-gelak menceritakannya!
“Biar mampussss ayam jahanam itu!”, demikian umpatan bapakku yang diikuti dengan tawa khasnya untuk memulai cerita panjang mengenai “hancur”nya ayam Bali.
Mendengar ceritanya aku ikut terbahak-bahak. Aku tidak menduga bahwa seorang tua bisa bertingkah usil layaknya anak-anak.
Beginilah singkat ceritanya.
Bapakku ligat membeli ayam Bangkok. Dipersiapkan untuk melibas ayam sompret. Segera setelah perumahan sepi, kira-kira jam 2 siang menurutku, ketika ayam sompret bertandang ke halaman rumah, dilepaskanlah ayam Bangkok untuk bertarung.
Tidak mudah menundukkan ayam sompret ini. Berkali-kali dan berhari-hari ditarungkan dengan ayam berbeda barulah si sompret itu kalah. Tiap ayam yang kalah, langsung ditukar tambah dengan yang baru ke pasar ayam. Sampai-sampai semua pedagang ayam Bangkok di pasar terheran-heran. Banyak orang bertanya kepada bapakku apakah beliau seorang kolektor ayam Bangkok, oleh karena ayam yang dibawanya tiap hari berbeda. Hihihihihihi…
Setelah berhari-hari bertarung dengan ayam yang berbeda-beda, akhirnya ayam sompret terkalahkan. Horeeeeeeee……….bhuahahahahahaha….
Ayam sompret bertarung habis-habisan. Ibarat petarung yang telah buta sebelah matanya dan berdarah-darah, ia tetap bertahan. Mematok dan menendang. Begitu banyak ayam Bangkok dilawannya, sampai akhirnya bertekuk lutut oleh ayam Bangkok yang diberi nama Brutus.
Menurutku menangnya si Brutus lebih kepada pertarungan yang tidak fair. Walau Brutus juga sangat brutal dalam bertarung (Brutus yang membuat ayam sompret buta dan pitak berdarah-darah, dalam pertarungan paling lama yang pernah terjadi), namun pastilah tenaga ayam sompret telah terkuras habis lebih dulu akibat pertarungan sebelum-sebelumnya.
Bapakku membantah ini dengan sengit sambil terus membelai-belai Brutus. “Tidak benar. Brutus memang hebat. Paling hebat gaya bertandingnya. Ayam Bali itu tidak pernah dapat lawan setimpal sebelum-sebelumnya. Semua berakhir cepat, jadi tidak benar terkuras tenaganya! Memang Brutus lebih hebat!! Perlu dicatat, tidak ada campur tangan siapapun dalam kemenangan Brutus!”
Sebentar…..sebentar.....campur tangan? Apa maksudnya?? Bukannya kalau ayam bertarung memang tidak ada campur tangan siapapun. Apa pula ini??
Setelah bertanya kesana-kemari, akhirnya aku menemukan jawabannya. Rupanya ayam-ayam Bangkok yang sebelumnya, sering dibantu oleh bapakku dalam pertarungannya. Jadi ayam Bangkok + bapakku melawan ayam Bali. Oalahhhhh…. Masih kalah pula ayam Bangkok itu! Hahahahaha…..
Rupa-rupanya, bapakku akan masuk ke gelanggang dengan toya (bc: galah…huahahahaha), jika melihat keadaan ayam Bangkoknya nyaris lari terbirit-birit. Namun karena bantuan selalu “timing” nya terlambat, kekalahan tetap terjadi. Ayam Bangkoknya sudah kepalang jeri dan akhirnya terbirit-birit! Oalahhhhh…..ada-ada saja.
Tapi semenjak kemenangan Brutus itu, Brutus lah yang mengawal seantero wilayah yang tadinya dikuasai ayam sompret. Brutus tidak sombong dan arogan seperti ayam sompret. Tidak mau berlama-lama di pekarangan orang lain, dan tidak suka menyerang orang, namun setiap ada pejantan yang lewat pasti diberi sanksi sepantasnya. Sementara ayam sompret telah hilang kedigjayaannya, hanya mampu melirik-lirik dari jauh pekarangan rumah kami yang sangat dicintainya, karena Brutus telah berkuasa.
Sayang Brutus tidak berkuasa lama karena terkena serangan penyakit. Akhirnya mati muda.
Ayam sompret yang mengetahui ini kembali berani menginjak-injak halaman depan rumahku.
Tapi bapakku tidak menaruh dendam atau sakit hati lagi kepada ayam sompret. Ya..iyalahhhh….Lihat aja tuh ayam, jalannya sudah miring-miring karena buta, terlihat bodoh dan cacat!!
“Biarkanlah…,” mungkin begitu pikir bapakku.
Mudah-mudahan cerita ini menginspirasi, terutama tentang keberanian dan kegagahan ayam sompret. Benar-benar perlu ditiru semangat bertarungnya. (Asal berdoalah, dijauhkan dari makhluk aneh dan usil seperti bapakku, karena percayalah sia-sia semuanya!)
BHUAHAHAHAHAHAHAHA……
No comments:
Post a Comment