Sunday, January 3, 2010

Misteri Tas Busuk, Lanjutan 3

Pukul 13.32.

“Alinea ke-2 ini bukan anagram…bukan anagram….bukan seperti alinea ke-1…”, gumamku berkali-kali.

Aku menuliskan kembali alinea ke-2 dari pesan misterius M di kertas buram yang baru. Untuk puluhan kali sudah.

"Cabe, Ebi, Nenas, Garam. BARU, 5".

“Akhhh…. Ini hanya kata-kata sederhana. Harusnya mudah… setan.. SETANNNNN!”, teriakku sambil meninju lantai.

Aku berdiri. Meluruskan badan sejenak, memutar-mutar pinggang. Tidak kembali duduk di lantai, namun berjalan hilir mudik di sepanjang sisi tempat tidur. Sambil hilir mudik, aku terus menerus menggumam-gumamkan kata-kata kemungkinan pemecahan sandi alinea ke-2 ini. Pada saat itu kamarku diketuk oleh si Mak.

“Tokk-tokk…..tokk-tokk…..tokk-tokk”.

Si Mak selalu mengetuk enam kali ketukan dengan khas. Dua ketukan berjeda pendek masing-masing dilakukan sebanyak tiga kali. Tiap dua ketukan pendek itu akan diberi jeda yang sedikit lebih panjang sebelum diikuti dengan ketukan berikutnya.
Tampaknya antara si Mak dan M tanpa koordinasi lebih dulu telah sepakat untuk membedakan ketukan pintu mereka. Sementara ketukan pintu M selalu berbunyi, “Tokk-tokk-tokk…..TOK!”. Hanya empat ketukan. Tiga ketukan berjeda pendek kemudian diikuti sekali ketukan yang diberi jeda agak panjang dan keras dari ketukan sebelumnya.

“Ten…udah lewat nih jam makan sianggg…. Mak udah siapin dari tadi tuhh makan siangmu….”, lembut suara Mak terdengar dari balik pintu, seolah dia sedang bersandar di pintu dan memperlakukan pintu itu seperti diriku yang sangat disayangnya.

“Sebentar ya Mak…”

“Ten..sepuluh menit lagi kalau kamu tidak keluar makan siang, semua makan siang akan Mak buang. Dan kamu harus masak sendiri untuk makan kita hari ini!”, balas si Mak dengan lugas dan tegas.

Itu adalah tekanan khas suara si Mak jika ingin memenangkan pembicaraan dengan segera karena yakin benar dalam argumentasi. Bahkan seorang M pun akan mulai keder jika mendengar si Mak mengeluarkan tekanan suara yang demikian.

“Ya deh Makkkk…..”, aku segera membuka pintu dan keluar dari kamarku sembari menebar senyum manisku kepada si Mak dan merangkul pinggangnya.

“Hmmm…Ten…baumu sudah seperti masakan basi…Asemmmm….! Setelah makan, kamu mandi dululah…biar segar”, tegur si Mak sambil mengiringi langkah kakiku keluar kamar menuju meja makan.

Meja makan kami terbuat dari kayu, bukan kayu jati, tapi terlihat sangat kokoh dan tua. Bentuknya bundar berdiameter 1.5 meter dan diplitur sederhana. Warnanya coklat tua dan walau sudah berumur, tidak terlihat dekil. Hanya terlihat antik namun terawat. Permukaan mejanya saja yang terlihat sedikit kusam dari bagian meja yang lainnya karena gesekan piring-piring dan perlengkapan makan lainnya.

Ada tiga kursi yang terbuat dari kayu jati muda mendampingi meja bundar. Kursinya juga sederhana. Nampak kursi dan meja ini dibeli terpisah dan kursi ini jelas bukanlah pasangan dari meja bundar. Dan karena bukan pasangannya, kursi ini bukanlah tempat yang nyaman untuk diduduki bersama dengan meja bundar untuk makan. Terasa lebih tinggi dan harus sedikit membungkukkan badan jika ingin menyuapkan makanan ke mulut. Sama sekali tidak nyaman. Walaupun tidak nyaman, namun tidak seorangpun dari kami merasa harus berkomentar. Sejak dulu demikian.

“Ya Mak…”, aku menukas cepat karena ingin segera menyudahi pembicaraan dengan si Mak.

Otakku masih saja bekerja dengan alinea ke-2. Tampaknya si Mak paham betul dengan kondisiku. Setelah mengantarku ke meja makan dan memastikan semua lauk-pauk telah lengkap, si Mak menyingkir kedalam kamarnya.

Sebelum menutup pintu dia berujar, "Habisin nasi yang Mak tuang ya....".

"Ya Mak..."

Otakku terus bekerja. Tanpa memperhatikan masakan apa yang terhidang, aku segera menyuap apa saja yang disiapkan si Mak dipiringku. Mengunyahnya secepat otakku yang tengah bekerja.

“Alinea ke-2 ini begitu sederhana. Kenapa jadi begitu sulit?”, begitulah aku terus bertanya dalam hatiku sambil terus memikirkan kemungkinan pemecahan sandinya.

"Cabe, Ebi, Nenas, Garam. BARU, 5".

Alinea ke-2 inilah kuncinya. Sementara alinea ke-1 telah terpecahkan, aku tidak perlu bersusah payah untuk memecahkan alinea ke-3. Kata-kata dalam alinea ke-3 sudah diluar kepala sejak aku berumur sebelas tahun.

Alinea ke-3. “Deercod, W”

Deercod adalah anagram. Deercod adalah Code Red. Maknanya adalah situasi gawat sehingga upaya apapun akan disahkan untuk mengatasi situasi itu. Apapun boleh.

“Hajar kalau perlu, bakar kalau perlu, bunuh kalau perlu, apapun kalau perlu…”, ujar M datar sambil menatapku tajam, saat itu.

“Itulah Deercod, Tennn….”, jelas M, saat aku bertanya maknanya.

“Apa M?? Bunuh??”

“Ya!”, tegas dan singkat.

“Ingat baik-baik…. Deercod itu, APAPUN KALAU PERLU”, sekali lagi M memberi penekanan dengan kalimat yang lamban dan tegas.

Sedangkan huruf W dalam alinea ke-3 adalah signatur M.
Huruf W adalah huruf M yang dibalik. Nyatalah memang surat itu adalah dari M. Signatur itu sendiri adalah ciptaanku sejak aku usia empat tahun. Pada saat aku telah mengerti seluruh abjad, demikian cerita si Mak, aku selalu menuliskan banyak huruf W.

Dan ketika si Mak dan M bertanya kenapa aku banyak menulis huruf W, aku tidak menjawab dengan kata-kata. Aku hanya membalikkan kertas atau buku tulis yang telah kutuliskan banyak huruf W tadi, sembari menunjuk kearah M. Tingkahku itu selalu membuat M tertawa lepas dan terlihat bangga.

Sejak itu, M akan memberikan signatur W tiap kali ia menulis apapun kepadaku. Hanya kepadaku saja, tidak kepada yang lain. Bahkan tidak juga kepada si Mak.

Suapan terakhir dari makan siangku masih kukunyah ketika aku langsung beranjak ke dapur dengan membawa piring dan gelas kotorku untuk dicuci.

Menjadi kebiasaan kami setelah makan untuk mencuci masing-masing piring kotor. Biasanya jika kami tengah berkumpul bertiga, maka yang mendapat kesempatan mencuci pertama adalah M, kemudian aku dan terakhir adalah si Mak. Si Mak terakhir mencuci karena yang dicucinya bukan hanya piring dan gelas kotornya sendiri namun peralatan lain yang perlu dicuci dan dibersihkan. Pada saat mencuci piring itupun kami sempatkan untuk sekedar bercanda ria atau meneruskan diskusi yang belum selesai sejak di meja makan.

Setelah membersihkan meja makan dan merapikannya kembali, aku kembali ke kamarku.
Aku harus meneruskan pekerjaanku untuk memecahkan sandi ini. Waktuku tidak banyak lagi.

Pukul 13.57

Kali ini aku tidak langsung bekerja. Aku duduk bersila dengan bersender di sisi tempat tidurku. Kugapai tas dekil kulit sintetis berwarna coklat dan mengeluarkan pistol yang dibungkus dalam tas kain hitam. Pistolnya kuletakkan persis disamping kanan tempatku bersila.

“Apa yang harus kulakukan dengan pistol ini”, pikirku sambil mengelus-elus larasnya dengan jari-jariku dan posisi pistol tergeletak dilantai begitu saja.

Aku masih terus berpikir sejenak.

“Apakah aku harus membunuh orang dengan menembakkan pistol ini?. Tapi kenapa aku tidak pernah dilatih untuk menggunakan senjata api? Apakah pistol ini telah dilengkapi dengan peluru? Bukankah M tidak pernah mengajarkan aku sedikitpun mengenai senjata? Akhhh…aku yakin aku tidak disuruh menembak! Kalau tugasku menembak orang pastilah aku sudah diajarkan M untuk itu….”, demikan pikirku.

Alinea ke-2 kuncinya. Aku harus memecahkannya segera!

No comments:

Post a Comment