Kumasukkan kembali pistol kedalam bungkus tas kain untuk kemudian kuselusupkan sekenanya ke dalam tas dekil berbahan kulit sintetis itu.
Aku bersiap-siap untuk kembali bekerja untuk memecahkan sandi alinea ke-2
“Ok, seberapa hebat sih kau…”, gumamku lirih sambil seadanya mengambil sebuah kertas buram dari antara banyak kertas buram yang berserakan di lantai kamarku. Sebenarnya gumamanku ini lebih tepat seperti umpatan atas misteri yang masih membungkus alinea ke-2.
Walaupun kertas buram tadi kuambil seadanya, tetap kupilih yang masih belum begitu penuh dengan corat-coretku sebelumnya.
Aku mulai mengatur posisiku. Posisi paling favorit saat berpikir keras telah kupasang. Aku telah duduk jongkok menghadap kertas buram dan tas dekil itu. Kuambil pensil yang tergeletak sedari tadi di lantai kamar. Pensil itu sudah sangat tumpul, tapi masih bisa untuk dituliskan diatas kertas. Aku kembali mencorat coret.
Entah sudah berapa lama waktu lagi yang kuhabiskan. Sudah banyak coretan lagi yang kubuat diatas kertas itu, ketika aku memutuskan untuk menggali sesuatu hal yang baru.
“Jangan-jangan ini bukan permainan kata-kata. Jangan-jangan maksud M agar aku mengumpulkan benda-benda yang dituliskannya ini dalam wujud nyatanya….Ahaaa…… mungkin sekali…! Bodohnya aku!!”, benakku memaki diriku sendiri.
Tanpa menunggu lama, aku langsung bangkit berdiri. Membuka pintu kamar tidurku dengan sedikit tergopoh-gopoh.
Membawa secarik kertas buram dan membiarkan pintu tetap terbuka, segera menuju kamar si Mak.
“Mak…Mak….Makkkkkk”, aku setengah berteriak dan terus menuju kamar si Mak.
Belum sampai aku gedor kamarnya, si Mak telah membuka kamar dengan wajah bingung dan rambut sedikit acak-acakan.
Sebuah buku tebal yang usang berbahasa Belanda masih dipegangnya, pertanda dia tengah asyik membaca saat aku berteriak memanggil namanya.
“Ada apa sih Ten…”, tanya si Mak dengan raut wajah yang masih kebingungan. Tapi tidak lama, wajahnya segera menerbitkan wajah keibuan yang penuh kebijaksanaan dan bibirnya melempar senyum hangat kepadaku.
“Wahhh…Ten, pasti udah terpecahkan ya? Hebat, boleh dong bagi-bagi pesan rahasia M ke Mak?”
“Mak, belum Mak…belummmm. Tapi dengan bantuan Mak, aku punya feeling, ini pasti terpecahkan. Sini Mak..sini,” aku mengandeng tangan si Mak menuju dapur .
Sambil terus menggandeng, aku bicara nyerocos.
“Jadi Mak… dalam pesan M, ada satu alinea yang masih misteri, artinya aku belum bisa pecahkan. Aku udah coba semua cara, tapi belum berhasil memecahkannya. Alinea ini sangat sederhana. Menurutku sangat sederhana. Sehingga dalam kesederhanaannya inilah pesan ini terkunci sempurna. Mak, bantu Ten ya…bantu Mak….”.
“Heiii…tenangggg Ten…..jangan cepat-cepat jalannya…. Hehehe, Mak sudah tua nihhh…..”, kata si Mak sambil tergelak, namun terus mengikuti panduanku ke dapur.
Dapur kami ini sangatlah sederhana. Berukuran 3x4 m2, dengan ketinggian atap yang lebih tinggi dari bangunan utama.
Sebenarnya dapur ini bukan bangunan yang sejak awal dipersiapkan untuk dapur. Ini bangunan tambahan. M yang membuatnya ketika usiaku sekitar 10 atau 11 tahun. Dalam membangun dapur ini, M dibantu oleh seorang pria muda bertubuh tegap, berambut cepak, berwajah kotak dan keras layaknya batu. Kami menyebutnya dengan Mas Jepang, walau wajah dan kulitnya sama sekali tidak mirip dengan orang Jepang.
Sebutan itu bermula dari si Mak, oleh karena tiap pagi ketika datang untuk membantu M membangun dapur dan tiap kali pamit pulang ketika jam menunjukkan tepat jam 3 sore, ia selalu memberi hormat ala Jepang kepada si Mak. Hormat dengan membungkuk yang dalam tanpa kata-kata. Mas Jepang seingatku, hampir tidak pernah mengeluarkan suara. Irit bicara, namun bekerja sangat cekatan.
M menyempatkan membangun dapur ini tiap kali ia datang untuk melatihku. Jadi pembuatannya dilakukan secara bertahap. Tapi M dan Mas Jepang membangunnya dengan sangat cepat, kurang dari 10 kali kunjungan.
Yang membuat aku gembira dalam proses pembuatannya adalah, waktuku berlatih menjadi berkurang karena M menghabiskan separuh kunjungannya untuk mendirikan bangunan tambahan ini. Ketika M membangun dapur, aku bermain-main disekitar mereka sembari terus mengobrol dan bercanda dengan M. Sungguh menyenangkan.
Dapur kami dinding bawahnya terbuat dari bata, sedangkan separuh dinding atasnya terbuat dari papan keras. Tidak ada eternit. Atapnya terbuat dari nipah. Ringan dan membuat kesan sangat teduh pada ruangan tatkala siang hari.
Ornamen pada dapur ini sangat bercirikan dari daerah tertentu. Pada awal dapur ini selesai dibangun, aku rada seram berlama-lama sendirian di dapur ketika malam hari. Seperti ada sesuatu yang menakutkan yang terdapat dalam ornamen itu. Si Mak kemudian menjelaskan, bahwa M membuat dapur yang berornamen daerah Batak.
“Ten…ini diberi hiasan Gorga dari daerah Batak…”, demikian penjelasan si Mak. Aku tidak memberi perhatian atas penjelasan panjang lebarnya kala itu. Entah bagian mana yang disebut Gorga dan apa maknanya pada saat itu aku tidak begitu paham.
(Makna Gorga aku dapatkan belakangan saat aku menjadi sangat dewasa, kemudian hari)
Dan kami sudah berada di dapur.
“Ok, mau apa kita disini?”, tanya si Mak lembut.
“Gini Mak….aku mau Mak menyiapkan beberapa bahan yang ada di dapur kita ini. Cabe, ebi, nenas dan garam….”, sahutku cepat dengan antusias.
Sambil sigap mengumpulkan bahan yang kusebut tadi dengan membuka laci dapur pada bagian atas dan berpindah pada bagian bawah, si Mak berujar, “Kalau cabe, ebi dan garam ada Ten…. Tapi kalo nenas, Mak mana ada, tidak punyalah…!”
“Ya, aku juga sudah menduga Mak, tapi tidak apa, yang ada saja dulu…”, tukasku cepat dan memperhatikan dengan seksama bahan-bahan yang telah disiapkan si Mak diatas meja kompor yang ada persis didepan kami.
Aku membungkuk dan membolak-balik bahan-bahan itu. Cabe diambilkan oleh si Mak beberapa buah. Cabe Merah dan cabe rawit. Masing-masing empat buah. Ebi segenggam penuh diletakkan dalam piring lepek kecil. Dan garam masih didalam toples garam yang somplak pada gelas penutupnya. Toples garam kami memang demikian.
Aku membungkuk memegang kedua dengkulku dengan telapak tangan dan terus memperhatikan bahan-bahan itu. Mataku mencorong lekat dan tajam melihat bahan-bahan tadi.
Aku mendesah panjang berkali-kali karena tetap tidak mempunyai jawaban atas misteri alinea ke-2.
Entah berapa lama aku membungkuk, kemudian aku berdiri sambil mendekap tanganku sendiri di dada. Mataku tidak beralih sedikitpun dari bahan-bahan itu.
“Apa yang kau pikir Ten..”, tanya si Mak lirih seolah-olah tidak ingin membuyarkan konsentrasiku. Mata si Mak sibuk beralih dari tulisan di kertas buram, kemudian ke wajahku dan kepada bahan-bahan dapur itu.
“Hmmmmm….”, begitu saja jawabku tidak jelas. Mataku masih menatap bahan-bahan itu sambil masih dalam posisi berdiri yang sama.
“Apa ya kira-kira…..”, intonasi si Mak masih sama.
“Sayang tidak ada nenasnya..”, sahutku sekenanya.
“Kalau ada nenas, kenapa Ten, apa yang kau pikir?”, lanjut si Mak.
“Hmmmmm…”, sahutku tidak jelas.
“Kalau ada nenas kenapaaaa??”, tanya si Mak mulai tinggi karena dirundung penasaran, yang membuat wajahku berpaling kepada si Mak.
“Hahahahaha…aku juga belum tau Mak…Mak…. Aku kan cuma asal bicara. Kan memang tidak ada nenasnya….”, aku menjawab dengan tawa yang berderai. Namun tawa itu tidak mampu memecahkan suasana tegang yang telah terjadi sejak pagi tadi.
Aku membereskan ketiga bahan tadi. Cabe merah dan rawit tadi aku gabung kedalam piring lepek kecil itu. Toples garam kucengkeram pakai tangan kanan pada leher toples sementara piring lepek kecil sudah kupegang pada tangan kiriku.
“Ayo Mak kita duduk saja di ruang makan yuk…,”ajak ku sambil diikuti langsung oleh si Mak tanpa menjawab.
Sesampainya di meja makan, aku menarik kursi kayu dan menerbitkan suara gesekan kaki kursi ke lantai. Si Mak juga mengambil kursinya, namun dengan tidak menerbitkan suara apapun.
Nah, sekarang kami tengah menatap bahan-bahan itu sambil duduk di kursi makan. Ya, kami terdiam lama sembari memperhatikan bahan-bahan itu.
“Sayang ya tidak ada nenasnya”, gumam si Mak sambil memperhatikan aku. Wajahnya dibuat serius menirukan mimik wajah dan intonasi suaraku. Aku tau si Mak hanya ingin membuat lelucon dengan membuat nada suara persis suaraku tadi.
“Hehehehehe…..iya Mak”, aku tertawa garing karena terpaksa.
Kami terdiam lagi.
“Begini deh Ten…. Biar lebih mantap lagi, Mak coba akan cari nenas deh. Biar lebih tergambarkan dengan sempurna Ten. Siapa tau dengan begitu, otakmu kembali tokcer”, suara si Mak memecah keheningan.
Si Mak berdiri dan mendorong kursinya begitu saja sehingga menerbitkan suara khas kursi makan jika mengenai lantai dengan kasar.
“Mak, ambil uang dulu terus coba cari-cari di pasar di kampung sebelah. Berdoalah kamu Ten, masih ada tukang buah yang berjualan jam segini”, si Mak berlalu menuju kamarnya meninggalkan aku tercenung dan berpikir keras.
Aku masih berpikir keras ketika si Mak telah rapi dan bersiap-siap mencari nenas. Entah beberapa saat berlalu, tiba-tiba aku berteriak memangil si Mak.
“Makkkkkk………………….Makkkkkkkkkkk…………….. Tidak perlu pergi. Aku rasa kita sudah menemukan jawabannya”.
Aku mengejar si Mak ke pintu depan dan menemukan si Mak telah datang kembali dengan tergopoh-gopoh.
“Ada apa Ten… Sudah kamu pecahkan? Masa? Apa maksudnya Ten….”, tanya si Mak dengan girang sekali.
“Iya Mak…berkat Mak.. Mak memang jenius!!”, jawabku tak kalah girang.
“Alinea ke-2 adalah sebuah alamat. Itu adalah alamat Mak….Yihaaaaaa…. Mak ku memang pintarrrr…Mak tidak perlu mencari nenas lagi”.
MILITANT
Blog ini monumen. Monumen kebangkitan dari kebodohan dan keterbelengguan. Monumen yang mencatat lembar baru dalam hidup. Monumen yang memecut agar hidup ini lebih berarti. Tulisan terbagi dalam tiga bagian, yakni pengalaman bisnis praktis, khayalan dan tulisan iseng. Biarlah semuanya menjadi saksi dari kehidupanku.. May God help me. **tambahan : referensi blog hanya pengalamanku.. :-))
Monday, January 18, 2010
Thursday, January 7, 2010
In Memoriam - Gus Dur.
Kata-kata ini seringkali kita dengar dalam kehidupan sehari-hari.....
“Hei bro, kita punya banyak persamaan deh… Itu membuat kita semakin kompak dan terasa keluarga”
“Wahhh..yang membuat hidup kami tidak membosankan karena kami memiliki opposite attract, jadi saling melengkapi dehhh…..”
Sesungguhnya yang mana yang benar dalam kedua pernyataan diatas? Apakah persamaan yang menyatukan atau perbedaan yang mempererat?
Tulisan ini begitu ingin kutulis untuk memperingati kepergian KH. Abdurrahman Wahid, yang sering disebut dengan Gus Dur kealam baka. Tokoh yang satu ini begitu mempesona dalam memperjuangkan hak-hak asasi manusia, terutama yang tertindas. Memperjuangkan hak-hak asasi minoritas selalu hebat karena harus memiliki keberanian menentang mayoritas. Gus Dur inilah superstar di era modern ini.
Tidak mudah mengerti bagaimana seseorang sangat ingin membela orang lain yang tidak sesuku, seagama, sebangsa dan se-se lainnya.
“Kenapa elo ga bela bangsa kita? Kenapa elo bela orang Batak itu? Kita kan orang Jawa??”
“Kenapa elo bela Cina? Mereka itu pendatang, kita inilah suku asli bangsa ini?
“Kenapa kau ga bela saudara kita? Dia seagama dengan kita…mereka saudara kita seiman… kenapa?
Ya kenapa???
Dalam hal bela membela kaum minoritas atau kaum yang terpinggirkan, memang tidak boleh asal bela. Selalu harus ada nilai kebenaran dan keadilan yang diperjuangkan. Tidak sekedar membela. Dan sesungguhnya nilai kebenaran dan keadilan yang diperjuangkan derajat nilainya masih diatas hukum yang dibuat oleh manusia. Nilai kebenaran dan keadilan yang hakiki dan bersifat universal ini aku persamakan dengan nilai-nilai asasi kehidupan. Memang seharusnya hal asasi yang seperti ini tidak perlu diatur oleh hukum yang ribet.
Begini kugambarkan biar sederhana.
Bernafas adalah hal yang paling asasi dari makhluk hidup. Mengatur orang bernafas dengan cara-cara tertentu semestinya melanggar hak asasi manusia yang berakibat fatal. Coba bayangkan jika ada aturan cara-cara bernafas yang tidak melanggar Undang-Undang? Bernafaslah di kamar anda pada waktu-waktu tertentu, lakukanlah dengan memakai baju lengkap yang sopan! Hmmmm, pastilah didunia ini tinggal hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah kenapa bernafas belum pernah diatur dalam undang-undang manapun. Inilah hak asasi yang paling asasi.
Dibawah derajat dari bernafas ada yang disebut dengan berbicara. Berbicara masih termasuk dalam salah satu hak asasi manusia. Melarang orang berbicara dapat saja dianggap menentang nilai kebenaran dan keadilan yang paling hakiki. Walau ini termasuk hak asasi, bukan berarti tidak bisa diatur. Bisa dan sudah banyak peraturannya.
Inilah berbagai contoh :
“Dilarang berbicara keras dalam perpustakaan”.
Kemudian, “Penonton dilarang berbicara jika film sudah dimulai”.
Kemudian, “Harus menggunakan bahasa santun dalam persidangan”.
Ya, memang diatur. Namun perlu diingat, mengatur hak asasi tidak boleh sembarangan. Tidak boleh menang-menangan. Tidak boleh mentang-mentangan. Jangan mentang-mentang suaramu bagus, kau boleh bicara di perpustakaan sementara suara serak seperti Ikang Fawzi tidak diperkenankan. Jangan mentang-mentang kalian datang segerombolan dalam bioskop dan membeli tiket paling banyak, kalian boleh bicara-bicara saat film sudah dimulai.
Silahkan aturlah sesukamu, namun perhatikan nilai keadilan. Kadang-kadang orang yang picik dan berusaha ingin menang-menangan memunculkan istilah aneh. Adil itu, katanya, bukan berarti sama perlakuannya. Adil itu proporsional. Proporsional terhadap apa?? Jumlah populasi? Jumlah kekayaan?? Ngawur. Nah lho… Jadi jika kau dari suku yang mayoritas kau boleh teriak-teriak di perpustakaan? Apa karena kau orang kaya, kau boleh menjerit-jerit di bioskop saat film diputar?
Apalagi ya hak asasi manusia? Bagaimana kalau hak untuk beribadah?
Jika kau memutuskan kau harus beragama – memilih dan memutuskan adalah hak asasi manusia juga – maka beribadah juga merupakan hak asasi.
Apakah layak cara-cara beribadah diatur oleh orang lain? Misal, menurut Undang-Undang Darurat Republik Kacau, umat Kristiani harus beribadah hari Jumat dan disebut dengan Ibadah Jumatan sedangkan umat Muslim harus beribadah Minggu sehingga disebut Shalat Minggu.
Hahaha…benar-benar Republik Kacau kan?
Ini menunjukkan bahwa ibadah itu tidak boleh diatur oleh siapapun.
Ok, bagaimana dengan pendirian rumah ibadah? Bisakah diatur?
Ya silahkan diatur semaunya, asal perlu diingat, aturlah yang adil. Bukan adil yang proporsional. Adil ya adil. Tidak boleh aturan itu berbeda dari satu pengikut ke pengikut yang lain. Jika umat yang lain dilarang mendirikan tempat ibadah di tikungan jalan, seharusnya tidak ada umat lain yang diperbolehkan mendirikan di tikungan itu. Nah itu adil.
Terus bisa kacau dong? Kalau tidak diatur pasti jadi rumah ibadah semua tuh bangunan…!
Jangan lebay…buat umat yang paling mayoritas sekalipun tentunya tidak mau menjadikan semua bangunan menjadi rumah ibadah. Tetap dong seperlunya…. Emangnya bangun membangun rumah ibadah tidak perlu dana? Ya seperlunya saja… Kalau memang diperlukan ya dibangun.
Kalau tidak diatur apa tidak khawatir dengan Islamisasi, Kristenisasi, Hinduisasi, Buddhaisasi, Kepercayanisasi, dan sasi-sasian lain? Lha..tadi aku bilang, silahkan atur! Tapi perlakukan sama. Jika ternyata bangunan vihara lebih banyak dari gereja atau mesjid dan setiap ibadah seluruh vihara itu penuh dan tempat ibadah lain kosong, so what?? Haruskah pemerintah melarang pembangunan vihara lagi dan merobohkan vihara yang sudah ada agar bangunan gereja dan mesjid menjadi lebih banyak?? Banyaknya pengikut suatu ajaran tidak ditentukan oleh pembatasan dan pelarangan rumah ibadah. Kalau dia mau berkembang ya pasti berkembang saja. Tidak ada yang dapat membatasinya.
Bagaimana sih supaya ajaran tertentu itu banyak penganutnya? Jika dalam perusahaan ini disebut persaingan bisnis. Lancarkan strategi bisnis yang jitu untuk memenangkan kompetisi dalam meraup pasar. Hei….ini agama dan ajaran luhur. Kompetisinya adalah berlomba-lomba mengajarkan dan berbuat kebaikan. Tidak saja mengajarkan dan menulis yang indah-indah diblog, atau di jejaring sosial seperti facebook, tweeter dan lainnya. Tapi menerapkan dan mencontohkan kepada umat lain ajaran-ajaran adi luhung itu. Biarkan orang lain terkesima dengan ajaran adiluhung sehingga tertarik melihat dan mempelajari ajaran yang kita anut. Begitulah persaingan di ranah ini. Berlomba-lomba berbuat baik. Yang melakukan persaingan diluar daripada itu, pasti terpuruk. Indah bukan? Seharusnya semakin banyak yang bersaing di ranah ini semakin indah dunia ini. Semakin banyak dan banyak yang berbuat baik bagi sesama.
Ini lah mungkin yang ingin dikatakan para pejuang pluralis, seperti Gus Dur. Beliau membela minoritas sesungguhnya telah menjalankan dakwah yang derajatnya paling mulia.
Jadi marilah kita bela kebenaran dan keadilan hakiki itu.
Begitulah.
Kembali kepada pertanyaan apakah persamaan atau perbedaan yang menyatukan kita? Aku harus mengatakan bahwa kedua hal itu diperlukan untuk menyatukan dan membuat dunia lebih indah.
Kenapa aku harus mengatakan demikian. Begini ilustrasinya.
Bayangkan, ketika disuatu pagi, kau terbangun. Kau melihat disampingmu tertidur seseorang yakni, dirimu. Kau kaget. Kau lari keluar kamar. Di ruang tamu kau mendapatkan beberapa orang yang juga kumpulan dirimu, saling bercengkrama. Kau semakin kaget, dan semakin berlari keluar rumah. Setiap orang yang kau jumpai adalah dirimu. Menurutmu asyik atau malah serammm??
Ternyata kau perlu orang lain yang berbeda dengan dirimu bukan?
Jika itu mimpi, pastilah itu mimpi seram, yang paling menyeramkan yang pernah ada.
Kemudian pada hari berikut, kau terbangun. Kau menjumpai seorang Afrika di sebelahmu. Kau bercakap-cakap, tidak ada satu bahasapun yang kau mengerti. Kau kaget dan keluar kamar. Di ruang tamu, sedang bercakap-cakap orang dari segala bangsa dengan riuh. Tidak ada yang mengerti satu sama lain. Percakapan semakin kasar dan berteriak-teriak. Mereka melihat dirimu dan mulai menanyakan sesuatu dengan bahasa masing-masing yang tidak kau pahami. Kau berlari keluar rumah. Mereka semua mengejarmu, dan kau minta bantuan orang-orang lain yang kau jumpai. Sayangnya tidak ada satupun bahasa yang kau mengerti, demikianpun mereka semua. Tidak ada yang sama. Baik bahasa maupun bentuk fisiknya.
Menurutmu asyik atau malah serammm?? Pasti kau berharap inipun mimpi juga!
Apa perlu kesimpulan lagi? Simpulkan sendiri deh! Pada pinterrrr kannn…
“Hei bro, kita punya banyak persamaan deh… Itu membuat kita semakin kompak dan terasa keluarga”
“Wahhh..yang membuat hidup kami tidak membosankan karena kami memiliki opposite attract, jadi saling melengkapi dehhh…..”
Sesungguhnya yang mana yang benar dalam kedua pernyataan diatas? Apakah persamaan yang menyatukan atau perbedaan yang mempererat?
Tulisan ini begitu ingin kutulis untuk memperingati kepergian KH. Abdurrahman Wahid, yang sering disebut dengan Gus Dur kealam baka. Tokoh yang satu ini begitu mempesona dalam memperjuangkan hak-hak asasi manusia, terutama yang tertindas. Memperjuangkan hak-hak asasi minoritas selalu hebat karena harus memiliki keberanian menentang mayoritas. Gus Dur inilah superstar di era modern ini.
Tidak mudah mengerti bagaimana seseorang sangat ingin membela orang lain yang tidak sesuku, seagama, sebangsa dan se-se lainnya.
“Kenapa elo ga bela bangsa kita? Kenapa elo bela orang Batak itu? Kita kan orang Jawa??”
“Kenapa elo bela Cina? Mereka itu pendatang, kita inilah suku asli bangsa ini?
“Kenapa kau ga bela saudara kita? Dia seagama dengan kita…mereka saudara kita seiman… kenapa?
Ya kenapa???
Dalam hal bela membela kaum minoritas atau kaum yang terpinggirkan, memang tidak boleh asal bela. Selalu harus ada nilai kebenaran dan keadilan yang diperjuangkan. Tidak sekedar membela. Dan sesungguhnya nilai kebenaran dan keadilan yang diperjuangkan derajat nilainya masih diatas hukum yang dibuat oleh manusia. Nilai kebenaran dan keadilan yang hakiki dan bersifat universal ini aku persamakan dengan nilai-nilai asasi kehidupan. Memang seharusnya hal asasi yang seperti ini tidak perlu diatur oleh hukum yang ribet.
Begini kugambarkan biar sederhana.
Bernafas adalah hal yang paling asasi dari makhluk hidup. Mengatur orang bernafas dengan cara-cara tertentu semestinya melanggar hak asasi manusia yang berakibat fatal. Coba bayangkan jika ada aturan cara-cara bernafas yang tidak melanggar Undang-Undang? Bernafaslah di kamar anda pada waktu-waktu tertentu, lakukanlah dengan memakai baju lengkap yang sopan! Hmmmm, pastilah didunia ini tinggal hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah kenapa bernafas belum pernah diatur dalam undang-undang manapun. Inilah hak asasi yang paling asasi.
Dibawah derajat dari bernafas ada yang disebut dengan berbicara. Berbicara masih termasuk dalam salah satu hak asasi manusia. Melarang orang berbicara dapat saja dianggap menentang nilai kebenaran dan keadilan yang paling hakiki. Walau ini termasuk hak asasi, bukan berarti tidak bisa diatur. Bisa dan sudah banyak peraturannya.
Inilah berbagai contoh :
“Dilarang berbicara keras dalam perpustakaan”.
Kemudian, “Penonton dilarang berbicara jika film sudah dimulai”.
Kemudian, “Harus menggunakan bahasa santun dalam persidangan”.
Ya, memang diatur. Namun perlu diingat, mengatur hak asasi tidak boleh sembarangan. Tidak boleh menang-menangan. Tidak boleh mentang-mentangan. Jangan mentang-mentang suaramu bagus, kau boleh bicara di perpustakaan sementara suara serak seperti Ikang Fawzi tidak diperkenankan. Jangan mentang-mentang kalian datang segerombolan dalam bioskop dan membeli tiket paling banyak, kalian boleh bicara-bicara saat film sudah dimulai.
Silahkan aturlah sesukamu, namun perhatikan nilai keadilan. Kadang-kadang orang yang picik dan berusaha ingin menang-menangan memunculkan istilah aneh. Adil itu, katanya, bukan berarti sama perlakuannya. Adil itu proporsional. Proporsional terhadap apa?? Jumlah populasi? Jumlah kekayaan?? Ngawur. Nah lho… Jadi jika kau dari suku yang mayoritas kau boleh teriak-teriak di perpustakaan? Apa karena kau orang kaya, kau boleh menjerit-jerit di bioskop saat film diputar?
Apalagi ya hak asasi manusia? Bagaimana kalau hak untuk beribadah?
Jika kau memutuskan kau harus beragama – memilih dan memutuskan adalah hak asasi manusia juga – maka beribadah juga merupakan hak asasi.
Apakah layak cara-cara beribadah diatur oleh orang lain? Misal, menurut Undang-Undang Darurat Republik Kacau, umat Kristiani harus beribadah hari Jumat dan disebut dengan Ibadah Jumatan sedangkan umat Muslim harus beribadah Minggu sehingga disebut Shalat Minggu.
Hahaha…benar-benar Republik Kacau kan?
Ini menunjukkan bahwa ibadah itu tidak boleh diatur oleh siapapun.
Ok, bagaimana dengan pendirian rumah ibadah? Bisakah diatur?
Ya silahkan diatur semaunya, asal perlu diingat, aturlah yang adil. Bukan adil yang proporsional. Adil ya adil. Tidak boleh aturan itu berbeda dari satu pengikut ke pengikut yang lain. Jika umat yang lain dilarang mendirikan tempat ibadah di tikungan jalan, seharusnya tidak ada umat lain yang diperbolehkan mendirikan di tikungan itu. Nah itu adil.
Terus bisa kacau dong? Kalau tidak diatur pasti jadi rumah ibadah semua tuh bangunan…!
Jangan lebay…buat umat yang paling mayoritas sekalipun tentunya tidak mau menjadikan semua bangunan menjadi rumah ibadah. Tetap dong seperlunya…. Emangnya bangun membangun rumah ibadah tidak perlu dana? Ya seperlunya saja… Kalau memang diperlukan ya dibangun.
Kalau tidak diatur apa tidak khawatir dengan Islamisasi, Kristenisasi, Hinduisasi, Buddhaisasi, Kepercayanisasi, dan sasi-sasian lain? Lha..tadi aku bilang, silahkan atur! Tapi perlakukan sama. Jika ternyata bangunan vihara lebih banyak dari gereja atau mesjid dan setiap ibadah seluruh vihara itu penuh dan tempat ibadah lain kosong, so what?? Haruskah pemerintah melarang pembangunan vihara lagi dan merobohkan vihara yang sudah ada agar bangunan gereja dan mesjid menjadi lebih banyak?? Banyaknya pengikut suatu ajaran tidak ditentukan oleh pembatasan dan pelarangan rumah ibadah. Kalau dia mau berkembang ya pasti berkembang saja. Tidak ada yang dapat membatasinya.
Bagaimana sih supaya ajaran tertentu itu banyak penganutnya? Jika dalam perusahaan ini disebut persaingan bisnis. Lancarkan strategi bisnis yang jitu untuk memenangkan kompetisi dalam meraup pasar. Hei….ini agama dan ajaran luhur. Kompetisinya adalah berlomba-lomba mengajarkan dan berbuat kebaikan. Tidak saja mengajarkan dan menulis yang indah-indah diblog, atau di jejaring sosial seperti facebook, tweeter dan lainnya. Tapi menerapkan dan mencontohkan kepada umat lain ajaran-ajaran adi luhung itu. Biarkan orang lain terkesima dengan ajaran adiluhung sehingga tertarik melihat dan mempelajari ajaran yang kita anut. Begitulah persaingan di ranah ini. Berlomba-lomba berbuat baik. Yang melakukan persaingan diluar daripada itu, pasti terpuruk. Indah bukan? Seharusnya semakin banyak yang bersaing di ranah ini semakin indah dunia ini. Semakin banyak dan banyak yang berbuat baik bagi sesama.
Ini lah mungkin yang ingin dikatakan para pejuang pluralis, seperti Gus Dur. Beliau membela minoritas sesungguhnya telah menjalankan dakwah yang derajatnya paling mulia.
Jadi marilah kita bela kebenaran dan keadilan hakiki itu.
Begitulah.
Kembali kepada pertanyaan apakah persamaan atau perbedaan yang menyatukan kita? Aku harus mengatakan bahwa kedua hal itu diperlukan untuk menyatukan dan membuat dunia lebih indah.
Kenapa aku harus mengatakan demikian. Begini ilustrasinya.
Bayangkan, ketika disuatu pagi, kau terbangun. Kau melihat disampingmu tertidur seseorang yakni, dirimu. Kau kaget. Kau lari keluar kamar. Di ruang tamu kau mendapatkan beberapa orang yang juga kumpulan dirimu, saling bercengkrama. Kau semakin kaget, dan semakin berlari keluar rumah. Setiap orang yang kau jumpai adalah dirimu. Menurutmu asyik atau malah serammm??
Ternyata kau perlu orang lain yang berbeda dengan dirimu bukan?
Jika itu mimpi, pastilah itu mimpi seram, yang paling menyeramkan yang pernah ada.
Kemudian pada hari berikut, kau terbangun. Kau menjumpai seorang Afrika di sebelahmu. Kau bercakap-cakap, tidak ada satu bahasapun yang kau mengerti. Kau kaget dan keluar kamar. Di ruang tamu, sedang bercakap-cakap orang dari segala bangsa dengan riuh. Tidak ada yang mengerti satu sama lain. Percakapan semakin kasar dan berteriak-teriak. Mereka melihat dirimu dan mulai menanyakan sesuatu dengan bahasa masing-masing yang tidak kau pahami. Kau berlari keluar rumah. Mereka semua mengejarmu, dan kau minta bantuan orang-orang lain yang kau jumpai. Sayangnya tidak ada satupun bahasa yang kau mengerti, demikianpun mereka semua. Tidak ada yang sama. Baik bahasa maupun bentuk fisiknya.
Menurutmu asyik atau malah serammm?? Pasti kau berharap inipun mimpi juga!
Apa perlu kesimpulan lagi? Simpulkan sendiri deh! Pada pinterrrr kannn…
Sunday, January 3, 2010
Misteri Tas Busuk, Lanjutan 3
Pukul 13.32.
“Alinea ke-2 ini bukan anagram…bukan anagram….bukan seperti alinea ke-1…”, gumamku berkali-kali.
Aku menuliskan kembali alinea ke-2 dari pesan misterius M di kertas buram yang baru. Untuk puluhan kali sudah.
"Cabe, Ebi, Nenas, Garam. BARU, 5".
“Akhhh…. Ini hanya kata-kata sederhana. Harusnya mudah… setan.. SETANNNNN!”, teriakku sambil meninju lantai.
Aku berdiri. Meluruskan badan sejenak, memutar-mutar pinggang. Tidak kembali duduk di lantai, namun berjalan hilir mudik di sepanjang sisi tempat tidur. Sambil hilir mudik, aku terus menerus menggumam-gumamkan kata-kata kemungkinan pemecahan sandi alinea ke-2 ini. Pada saat itu kamarku diketuk oleh si Mak.
“Tokk-tokk…..tokk-tokk…..tokk-tokk”.
Si Mak selalu mengetuk enam kali ketukan dengan khas. Dua ketukan berjeda pendek masing-masing dilakukan sebanyak tiga kali. Tiap dua ketukan pendek itu akan diberi jeda yang sedikit lebih panjang sebelum diikuti dengan ketukan berikutnya.
Tampaknya antara si Mak dan M tanpa koordinasi lebih dulu telah sepakat untuk membedakan ketukan pintu mereka. Sementara ketukan pintu M selalu berbunyi, “Tokk-tokk-tokk…..TOK!”. Hanya empat ketukan. Tiga ketukan berjeda pendek kemudian diikuti sekali ketukan yang diberi jeda agak panjang dan keras dari ketukan sebelumnya.
“Ten…udah lewat nih jam makan sianggg…. Mak udah siapin dari tadi tuhh makan siangmu….”, lembut suara Mak terdengar dari balik pintu, seolah dia sedang bersandar di pintu dan memperlakukan pintu itu seperti diriku yang sangat disayangnya.
“Sebentar ya Mak…”
“Ten..sepuluh menit lagi kalau kamu tidak keluar makan siang, semua makan siang akan Mak buang. Dan kamu harus masak sendiri untuk makan kita hari ini!”, balas si Mak dengan lugas dan tegas.
Itu adalah tekanan khas suara si Mak jika ingin memenangkan pembicaraan dengan segera karena yakin benar dalam argumentasi. Bahkan seorang M pun akan mulai keder jika mendengar si Mak mengeluarkan tekanan suara yang demikian.
“Ya deh Makkkk…..”, aku segera membuka pintu dan keluar dari kamarku sembari menebar senyum manisku kepada si Mak dan merangkul pinggangnya.
“Hmmm…Ten…baumu sudah seperti masakan basi…Asemmmm….! Setelah makan, kamu mandi dululah…biar segar”, tegur si Mak sambil mengiringi langkah kakiku keluar kamar menuju meja makan.
Meja makan kami terbuat dari kayu, bukan kayu jati, tapi terlihat sangat kokoh dan tua. Bentuknya bundar berdiameter 1.5 meter dan diplitur sederhana. Warnanya coklat tua dan walau sudah berumur, tidak terlihat dekil. Hanya terlihat antik namun terawat. Permukaan mejanya saja yang terlihat sedikit kusam dari bagian meja yang lainnya karena gesekan piring-piring dan perlengkapan makan lainnya.
Ada tiga kursi yang terbuat dari kayu jati muda mendampingi meja bundar. Kursinya juga sederhana. Nampak kursi dan meja ini dibeli terpisah dan kursi ini jelas bukanlah pasangan dari meja bundar. Dan karena bukan pasangannya, kursi ini bukanlah tempat yang nyaman untuk diduduki bersama dengan meja bundar untuk makan. Terasa lebih tinggi dan harus sedikit membungkukkan badan jika ingin menyuapkan makanan ke mulut. Sama sekali tidak nyaman. Walaupun tidak nyaman, namun tidak seorangpun dari kami merasa harus berkomentar. Sejak dulu demikian.
“Ya Mak…”, aku menukas cepat karena ingin segera menyudahi pembicaraan dengan si Mak.
Otakku masih saja bekerja dengan alinea ke-2. Tampaknya si Mak paham betul dengan kondisiku. Setelah mengantarku ke meja makan dan memastikan semua lauk-pauk telah lengkap, si Mak menyingkir kedalam kamarnya.
Sebelum menutup pintu dia berujar, "Habisin nasi yang Mak tuang ya....".
"Ya Mak..."
Otakku terus bekerja. Tanpa memperhatikan masakan apa yang terhidang, aku segera menyuap apa saja yang disiapkan si Mak dipiringku. Mengunyahnya secepat otakku yang tengah bekerja.
“Alinea ke-2 ini begitu sederhana. Kenapa jadi begitu sulit?”, begitulah aku terus bertanya dalam hatiku sambil terus memikirkan kemungkinan pemecahan sandinya.
"Cabe, Ebi, Nenas, Garam. BARU, 5".
Alinea ke-2 inilah kuncinya. Sementara alinea ke-1 telah terpecahkan, aku tidak perlu bersusah payah untuk memecahkan alinea ke-3. Kata-kata dalam alinea ke-3 sudah diluar kepala sejak aku berumur sebelas tahun.
Alinea ke-3. “Deercod, W”
Deercod adalah anagram. Deercod adalah Code Red. Maknanya adalah situasi gawat sehingga upaya apapun akan disahkan untuk mengatasi situasi itu. Apapun boleh.
“Hajar kalau perlu, bakar kalau perlu, bunuh kalau perlu, apapun kalau perlu…”, ujar M datar sambil menatapku tajam, saat itu.
“Itulah Deercod, Tennn….”, jelas M, saat aku bertanya maknanya.
“Apa M?? Bunuh??”
“Ya!”, tegas dan singkat.
“Ingat baik-baik…. Deercod itu, APAPUN KALAU PERLU”, sekali lagi M memberi penekanan dengan kalimat yang lamban dan tegas.
Sedangkan huruf W dalam alinea ke-3 adalah signatur M.
Huruf W adalah huruf M yang dibalik. Nyatalah memang surat itu adalah dari M. Signatur itu sendiri adalah ciptaanku sejak aku usia empat tahun. Pada saat aku telah mengerti seluruh abjad, demikian cerita si Mak, aku selalu menuliskan banyak huruf W.
Dan ketika si Mak dan M bertanya kenapa aku banyak menulis huruf W, aku tidak menjawab dengan kata-kata. Aku hanya membalikkan kertas atau buku tulis yang telah kutuliskan banyak huruf W tadi, sembari menunjuk kearah M. Tingkahku itu selalu membuat M tertawa lepas dan terlihat bangga.
Sejak itu, M akan memberikan signatur W tiap kali ia menulis apapun kepadaku. Hanya kepadaku saja, tidak kepada yang lain. Bahkan tidak juga kepada si Mak.
Suapan terakhir dari makan siangku masih kukunyah ketika aku langsung beranjak ke dapur dengan membawa piring dan gelas kotorku untuk dicuci.
Menjadi kebiasaan kami setelah makan untuk mencuci masing-masing piring kotor. Biasanya jika kami tengah berkumpul bertiga, maka yang mendapat kesempatan mencuci pertama adalah M, kemudian aku dan terakhir adalah si Mak. Si Mak terakhir mencuci karena yang dicucinya bukan hanya piring dan gelas kotornya sendiri namun peralatan lain yang perlu dicuci dan dibersihkan. Pada saat mencuci piring itupun kami sempatkan untuk sekedar bercanda ria atau meneruskan diskusi yang belum selesai sejak di meja makan.
Setelah membersihkan meja makan dan merapikannya kembali, aku kembali ke kamarku.
Aku harus meneruskan pekerjaanku untuk memecahkan sandi ini. Waktuku tidak banyak lagi.
Pukul 13.57
Kali ini aku tidak langsung bekerja. Aku duduk bersila dengan bersender di sisi tempat tidurku. Kugapai tas dekil kulit sintetis berwarna coklat dan mengeluarkan pistol yang dibungkus dalam tas kain hitam. Pistolnya kuletakkan persis disamping kanan tempatku bersila.
“Apa yang harus kulakukan dengan pistol ini”, pikirku sambil mengelus-elus larasnya dengan jari-jariku dan posisi pistol tergeletak dilantai begitu saja.
Aku masih terus berpikir sejenak.
“Apakah aku harus membunuh orang dengan menembakkan pistol ini?. Tapi kenapa aku tidak pernah dilatih untuk menggunakan senjata api? Apakah pistol ini telah dilengkapi dengan peluru? Bukankah M tidak pernah mengajarkan aku sedikitpun mengenai senjata? Akhhh…aku yakin aku tidak disuruh menembak! Kalau tugasku menembak orang pastilah aku sudah diajarkan M untuk itu….”, demikan pikirku.
Alinea ke-2 kuncinya. Aku harus memecahkannya segera!
“Alinea ke-2 ini bukan anagram…bukan anagram….bukan seperti alinea ke-1…”, gumamku berkali-kali.
Aku menuliskan kembali alinea ke-2 dari pesan misterius M di kertas buram yang baru. Untuk puluhan kali sudah.
"Cabe, Ebi, Nenas, Garam. BARU, 5".
“Akhhh…. Ini hanya kata-kata sederhana. Harusnya mudah… setan.. SETANNNNN!”, teriakku sambil meninju lantai.
Aku berdiri. Meluruskan badan sejenak, memutar-mutar pinggang. Tidak kembali duduk di lantai, namun berjalan hilir mudik di sepanjang sisi tempat tidur. Sambil hilir mudik, aku terus menerus menggumam-gumamkan kata-kata kemungkinan pemecahan sandi alinea ke-2 ini. Pada saat itu kamarku diketuk oleh si Mak.
“Tokk-tokk…..tokk-tokk…..tokk-tokk”.
Si Mak selalu mengetuk enam kali ketukan dengan khas. Dua ketukan berjeda pendek masing-masing dilakukan sebanyak tiga kali. Tiap dua ketukan pendek itu akan diberi jeda yang sedikit lebih panjang sebelum diikuti dengan ketukan berikutnya.
Tampaknya antara si Mak dan M tanpa koordinasi lebih dulu telah sepakat untuk membedakan ketukan pintu mereka. Sementara ketukan pintu M selalu berbunyi, “Tokk-tokk-tokk…..TOK!”. Hanya empat ketukan. Tiga ketukan berjeda pendek kemudian diikuti sekali ketukan yang diberi jeda agak panjang dan keras dari ketukan sebelumnya.
“Ten…udah lewat nih jam makan sianggg…. Mak udah siapin dari tadi tuhh makan siangmu….”, lembut suara Mak terdengar dari balik pintu, seolah dia sedang bersandar di pintu dan memperlakukan pintu itu seperti diriku yang sangat disayangnya.
“Sebentar ya Mak…”
“Ten..sepuluh menit lagi kalau kamu tidak keluar makan siang, semua makan siang akan Mak buang. Dan kamu harus masak sendiri untuk makan kita hari ini!”, balas si Mak dengan lugas dan tegas.
Itu adalah tekanan khas suara si Mak jika ingin memenangkan pembicaraan dengan segera karena yakin benar dalam argumentasi. Bahkan seorang M pun akan mulai keder jika mendengar si Mak mengeluarkan tekanan suara yang demikian.
“Ya deh Makkkk…..”, aku segera membuka pintu dan keluar dari kamarku sembari menebar senyum manisku kepada si Mak dan merangkul pinggangnya.
“Hmmm…Ten…baumu sudah seperti masakan basi…Asemmmm….! Setelah makan, kamu mandi dululah…biar segar”, tegur si Mak sambil mengiringi langkah kakiku keluar kamar menuju meja makan.
Meja makan kami terbuat dari kayu, bukan kayu jati, tapi terlihat sangat kokoh dan tua. Bentuknya bundar berdiameter 1.5 meter dan diplitur sederhana. Warnanya coklat tua dan walau sudah berumur, tidak terlihat dekil. Hanya terlihat antik namun terawat. Permukaan mejanya saja yang terlihat sedikit kusam dari bagian meja yang lainnya karena gesekan piring-piring dan perlengkapan makan lainnya.
Ada tiga kursi yang terbuat dari kayu jati muda mendampingi meja bundar. Kursinya juga sederhana. Nampak kursi dan meja ini dibeli terpisah dan kursi ini jelas bukanlah pasangan dari meja bundar. Dan karena bukan pasangannya, kursi ini bukanlah tempat yang nyaman untuk diduduki bersama dengan meja bundar untuk makan. Terasa lebih tinggi dan harus sedikit membungkukkan badan jika ingin menyuapkan makanan ke mulut. Sama sekali tidak nyaman. Walaupun tidak nyaman, namun tidak seorangpun dari kami merasa harus berkomentar. Sejak dulu demikian.
“Ya Mak…”, aku menukas cepat karena ingin segera menyudahi pembicaraan dengan si Mak.
Otakku masih saja bekerja dengan alinea ke-2. Tampaknya si Mak paham betul dengan kondisiku. Setelah mengantarku ke meja makan dan memastikan semua lauk-pauk telah lengkap, si Mak menyingkir kedalam kamarnya.
Sebelum menutup pintu dia berujar, "Habisin nasi yang Mak tuang ya....".
"Ya Mak..."
Otakku terus bekerja. Tanpa memperhatikan masakan apa yang terhidang, aku segera menyuap apa saja yang disiapkan si Mak dipiringku. Mengunyahnya secepat otakku yang tengah bekerja.
“Alinea ke-2 ini begitu sederhana. Kenapa jadi begitu sulit?”, begitulah aku terus bertanya dalam hatiku sambil terus memikirkan kemungkinan pemecahan sandinya.
"Cabe, Ebi, Nenas, Garam. BARU, 5".
Alinea ke-2 inilah kuncinya. Sementara alinea ke-1 telah terpecahkan, aku tidak perlu bersusah payah untuk memecahkan alinea ke-3. Kata-kata dalam alinea ke-3 sudah diluar kepala sejak aku berumur sebelas tahun.
Alinea ke-3. “Deercod, W”
Deercod adalah anagram. Deercod adalah Code Red. Maknanya adalah situasi gawat sehingga upaya apapun akan disahkan untuk mengatasi situasi itu. Apapun boleh.
“Hajar kalau perlu, bakar kalau perlu, bunuh kalau perlu, apapun kalau perlu…”, ujar M datar sambil menatapku tajam, saat itu.
“Itulah Deercod, Tennn….”, jelas M, saat aku bertanya maknanya.
“Apa M?? Bunuh??”
“Ya!”, tegas dan singkat.
“Ingat baik-baik…. Deercod itu, APAPUN KALAU PERLU”, sekali lagi M memberi penekanan dengan kalimat yang lamban dan tegas.
Sedangkan huruf W dalam alinea ke-3 adalah signatur M.
Huruf W adalah huruf M yang dibalik. Nyatalah memang surat itu adalah dari M. Signatur itu sendiri adalah ciptaanku sejak aku usia empat tahun. Pada saat aku telah mengerti seluruh abjad, demikian cerita si Mak, aku selalu menuliskan banyak huruf W.
Dan ketika si Mak dan M bertanya kenapa aku banyak menulis huruf W, aku tidak menjawab dengan kata-kata. Aku hanya membalikkan kertas atau buku tulis yang telah kutuliskan banyak huruf W tadi, sembari menunjuk kearah M. Tingkahku itu selalu membuat M tertawa lepas dan terlihat bangga.
Sejak itu, M akan memberikan signatur W tiap kali ia menulis apapun kepadaku. Hanya kepadaku saja, tidak kepada yang lain. Bahkan tidak juga kepada si Mak.
Suapan terakhir dari makan siangku masih kukunyah ketika aku langsung beranjak ke dapur dengan membawa piring dan gelas kotorku untuk dicuci.
Menjadi kebiasaan kami setelah makan untuk mencuci masing-masing piring kotor. Biasanya jika kami tengah berkumpul bertiga, maka yang mendapat kesempatan mencuci pertama adalah M, kemudian aku dan terakhir adalah si Mak. Si Mak terakhir mencuci karena yang dicucinya bukan hanya piring dan gelas kotornya sendiri namun peralatan lain yang perlu dicuci dan dibersihkan. Pada saat mencuci piring itupun kami sempatkan untuk sekedar bercanda ria atau meneruskan diskusi yang belum selesai sejak di meja makan.
Setelah membersihkan meja makan dan merapikannya kembali, aku kembali ke kamarku.
Aku harus meneruskan pekerjaanku untuk memecahkan sandi ini. Waktuku tidak banyak lagi.
Pukul 13.57
Kali ini aku tidak langsung bekerja. Aku duduk bersila dengan bersender di sisi tempat tidurku. Kugapai tas dekil kulit sintetis berwarna coklat dan mengeluarkan pistol yang dibungkus dalam tas kain hitam. Pistolnya kuletakkan persis disamping kanan tempatku bersila.
“Apa yang harus kulakukan dengan pistol ini”, pikirku sambil mengelus-elus larasnya dengan jari-jariku dan posisi pistol tergeletak dilantai begitu saja.
Aku masih terus berpikir sejenak.
“Apakah aku harus membunuh orang dengan menembakkan pistol ini?. Tapi kenapa aku tidak pernah dilatih untuk menggunakan senjata api? Apakah pistol ini telah dilengkapi dengan peluru? Bukankah M tidak pernah mengajarkan aku sedikitpun mengenai senjata? Akhhh…aku yakin aku tidak disuruh menembak! Kalau tugasku menembak orang pastilah aku sudah diajarkan M untuk itu….”, demikan pikirku.
Alinea ke-2 kuncinya. Aku harus memecahkannya segera!
Friday, December 25, 2009
Mata Uang Natal
25 Des 2009.
Tanggal ini adalah hari Natal. Hari yang diperingati umat kristiani sebagai hari Kelahiran Yesus Kristus. Yesus diyakini oleh pengikutnya sebagai satu-satunya jalan menuju surga. Hal ini diyakini mereka karena Yesus blak-blakan menyatakan dirinya demikian, disamping tercatat dalam sejarah, Yesus banyak membuat “keheranan” publik karena mukjizat yang terjadi pada dirinya dan perbuatan kasih yang dilakukan sepanjang hidupnya.
Kalau ada yang bertanya apakah Yesus benar-benar lahir pada tanggal 25 Des? Well, tentu saja tidak, dulu kan belum dikenal akte kelahiran..hihihi. Menurut banyak “ahli pertanggalan”, kelahiran Yesus terjadi pada awal-awal Januari kalender sekarang. Apakah ini suatu masalah. Kelihatannya tidak karena pada kenyataannya, banyak yang merayakan Natal sejak awal Desember atau bahkan Januari tahun depannya. Ini sekedar simbolistik. Makna peringatan dan perayaan itulah yang penting.
Kemudian banyak yang mengkritisi bahwa tanggal 25 Des adalah tanggal untuk memperingati dewa matahari. Jadi memperingati Natal sama saja dengan memperingati dewa matahari. Berhala dong? Nahhh…kali ini pasti menjadi masalah bukan? Ternyata tidak juga. Ini sama seperti tetangga yang kebetulan datang ke pesta ulang tahun anak kita. Tiba-tiba tetangga itu menemukan bahwa tanggal ultah anak kita sama dengan tanggal ultah neneknya. Jadi pastilah kita juga sedang merayakan ultah neneknya. Lha ini ultah anak kami massss….., kalau mau rayakan ultah nenekmu jangan disini ya masss…hehehe. Kembali lagi pada esensi makna peringatan dan perayaan itu sendiri.
Hmmm…makna Natal melulu. Jadi apa makna Natal bagiku?
Hehehe..ini rada sulit menjelaskannya. Tapi baiklah akan kujelaskan seringkas mungkin. Makna Natal menyangkut pengertian beban berat dan sukacita yang datang bersamaan. Persis mata uang yang punya dua sisi, jika sebelah sisinya rusak, maka uang tersebut menjadi tidak laku di pasar.
Ok, sekarang mau cerita beban dulu atau sukacita dulu? Jika aku harus memilih maka aku akan menceritakan sisi beban dulu.
Ini bebannya.
Walau aku bukan seorang kristiani yang baik, namun tetap saja hari peringatan ini tetap penting. Pada waktu aku kecil hari Natal berarti sukacita karena berkumpul bersama teman-teman di gereja. Sukacita karena berkumpul dengan para saudara jauh. Sukacita karena ada pakaian dan sepatu baru. Mungkin orang tuaku hanya mampu berbelanja setahun sekali untuk kebutuhan sandang…hehehehe..
Namun seturut bertambahnya umur, maka makna perayaan Natal sungguh menjadi jauh berbeda. Sekarang tiap Natal tiba, itu berarti mengingatkan untuk berbuat dan berkorban demi manusia lain tanpa memperhatikan apa dan siapa manusia itu. Ini seperti bercermin pada kehidupan Yesus dulu. Menjadi pengikutnya ya tentunya harus mau menjalankan perintah-perintahnya.
Beratttt coyyy…
Dia pernah bilang, agar aku mengasihi musuhku. Kalau aku membenci musuhku, apa bedanya aku dengan orang-orang yang tidak mengenal Yesus?
Dia juga pernah bilang, kalau pipiku digaplok orang, kasikan lagi pipi sebelahnya.
Dia bilang juga, kalau aku mau membantu orang jangan tanggung. Ada orang yang minta dianter 1km, anter lah 2 km. Jika ada orang yang minta bajuku, aku harus kasi sekalian sama jaket kulit yang aku kenakan.
Dia bilang juga, supaya aku harus berjaga-jaga terus, berbuatlah baik terus karena Dia bisa tiba-tiba datang lagi sewaktu-waktu (kiamat nih maksudnya kaliii hihihi). Jadi pas Dia datang secara tiba-tiba, aku dalam posisi yang senantiasa berjaga-jaga dengan ajaranNya. Kalau tidak yahh..habislah aku.
Anehhh banget… Banyak lagi yang Dia bilang. Semuanya beratttt.
Karena egoku, aku tak yakin mampu, tapi itulah makna sesungguhnya sekarang bagiku. Mampu tak mampu harus dicoba, bisa tak bisa harus diupayakan. Menjadi yesus kecil! Mati dehhh. Beban dong? Pastilahhh..hehehehe…
Apa tidak ada sukacitanya?? Ya tentu saja ada. Ini dia.
Ibarat mata uang yang punya dua sisi kan. Sukacita yang timbul adalah karena memperingati dan merayakan seorang individu yang memberi harapan, bahwa aku bisa ke surga.
Sukacita karena aku masih mempunyai harapan. Tidak banyak orang yang dapat sebuah harapan, tapi aku punya!
Dia soalnya janji, bahwa dia sudah membayar lunas aku. Dia bilang aku sudah dicatatNya dalam buku surga. Tinggal usahaku mempertahankannya. Seratus persen aku sudah ada di buku itu, tapi jika aku main-main, maka persentasinya bisa menjadi nol persen.
Well, at least, Dia sudah janji. Harapannnnn coyyy…
Itulah mata uang Natal bagiku.
Met Natal para sahabat! Maknai Natalmu dengan baik ya…
Aduhhh….masih aja kepikiran bebannya…mana tahannnnn… upsss….semangatttt, semangattt…fokus pada harapan, itu sikap otimis untuk maknai Natal!
Tanggal ini adalah hari Natal. Hari yang diperingati umat kristiani sebagai hari Kelahiran Yesus Kristus. Yesus diyakini oleh pengikutnya sebagai satu-satunya jalan menuju surga. Hal ini diyakini mereka karena Yesus blak-blakan menyatakan dirinya demikian, disamping tercatat dalam sejarah, Yesus banyak membuat “keheranan” publik karena mukjizat yang terjadi pada dirinya dan perbuatan kasih yang dilakukan sepanjang hidupnya.
Kalau ada yang bertanya apakah Yesus benar-benar lahir pada tanggal 25 Des? Well, tentu saja tidak, dulu kan belum dikenal akte kelahiran..hihihi. Menurut banyak “ahli pertanggalan”, kelahiran Yesus terjadi pada awal-awal Januari kalender sekarang. Apakah ini suatu masalah. Kelihatannya tidak karena pada kenyataannya, banyak yang merayakan Natal sejak awal Desember atau bahkan Januari tahun depannya. Ini sekedar simbolistik. Makna peringatan dan perayaan itulah yang penting.
Kemudian banyak yang mengkritisi bahwa tanggal 25 Des adalah tanggal untuk memperingati dewa matahari. Jadi memperingati Natal sama saja dengan memperingati dewa matahari. Berhala dong? Nahhh…kali ini pasti menjadi masalah bukan? Ternyata tidak juga. Ini sama seperti tetangga yang kebetulan datang ke pesta ulang tahun anak kita. Tiba-tiba tetangga itu menemukan bahwa tanggal ultah anak kita sama dengan tanggal ultah neneknya. Jadi pastilah kita juga sedang merayakan ultah neneknya. Lha ini ultah anak kami massss….., kalau mau rayakan ultah nenekmu jangan disini ya masss…hehehe. Kembali lagi pada esensi makna peringatan dan perayaan itu sendiri.
Hmmm…makna Natal melulu. Jadi apa makna Natal bagiku?
Hehehe..ini rada sulit menjelaskannya. Tapi baiklah akan kujelaskan seringkas mungkin. Makna Natal menyangkut pengertian beban berat dan sukacita yang datang bersamaan. Persis mata uang yang punya dua sisi, jika sebelah sisinya rusak, maka uang tersebut menjadi tidak laku di pasar.
Ok, sekarang mau cerita beban dulu atau sukacita dulu? Jika aku harus memilih maka aku akan menceritakan sisi beban dulu.
Ini bebannya.
Walau aku bukan seorang kristiani yang baik, namun tetap saja hari peringatan ini tetap penting. Pada waktu aku kecil hari Natal berarti sukacita karena berkumpul bersama teman-teman di gereja. Sukacita karena berkumpul dengan para saudara jauh. Sukacita karena ada pakaian dan sepatu baru. Mungkin orang tuaku hanya mampu berbelanja setahun sekali untuk kebutuhan sandang…hehehehe..
Namun seturut bertambahnya umur, maka makna perayaan Natal sungguh menjadi jauh berbeda. Sekarang tiap Natal tiba, itu berarti mengingatkan untuk berbuat dan berkorban demi manusia lain tanpa memperhatikan apa dan siapa manusia itu. Ini seperti bercermin pada kehidupan Yesus dulu. Menjadi pengikutnya ya tentunya harus mau menjalankan perintah-perintahnya.
Beratttt coyyy…
Dia pernah bilang, agar aku mengasihi musuhku. Kalau aku membenci musuhku, apa bedanya aku dengan orang-orang yang tidak mengenal Yesus?
Dia juga pernah bilang, kalau pipiku digaplok orang, kasikan lagi pipi sebelahnya.
Dia bilang juga, kalau aku mau membantu orang jangan tanggung. Ada orang yang minta dianter 1km, anter lah 2 km. Jika ada orang yang minta bajuku, aku harus kasi sekalian sama jaket kulit yang aku kenakan.
Dia bilang juga, supaya aku harus berjaga-jaga terus, berbuatlah baik terus karena Dia bisa tiba-tiba datang lagi sewaktu-waktu (kiamat nih maksudnya kaliii hihihi). Jadi pas Dia datang secara tiba-tiba, aku dalam posisi yang senantiasa berjaga-jaga dengan ajaranNya. Kalau tidak yahh..habislah aku.
Anehhh banget… Banyak lagi yang Dia bilang. Semuanya beratttt.
Karena egoku, aku tak yakin mampu, tapi itulah makna sesungguhnya sekarang bagiku. Mampu tak mampu harus dicoba, bisa tak bisa harus diupayakan. Menjadi yesus kecil! Mati dehhh. Beban dong? Pastilahhh..hehehehe…
Apa tidak ada sukacitanya?? Ya tentu saja ada. Ini dia.
Ibarat mata uang yang punya dua sisi kan. Sukacita yang timbul adalah karena memperingati dan merayakan seorang individu yang memberi harapan, bahwa aku bisa ke surga.
Sukacita karena aku masih mempunyai harapan. Tidak banyak orang yang dapat sebuah harapan, tapi aku punya!
Dia soalnya janji, bahwa dia sudah membayar lunas aku. Dia bilang aku sudah dicatatNya dalam buku surga. Tinggal usahaku mempertahankannya. Seratus persen aku sudah ada di buku itu, tapi jika aku main-main, maka persentasinya bisa menjadi nol persen.
Well, at least, Dia sudah janji. Harapannnnn coyyy…
Itulah mata uang Natal bagiku.
Met Natal para sahabat! Maknai Natalmu dengan baik ya…
Aduhhh….masih aja kepikiran bebannya…mana tahannnnn… upsss….semangatttt, semangattt…fokus pada harapan, itu sikap otimis untuk maknai Natal!
Subscribe to:
Posts (Atom)